Papua adalah sebuah provinsi terluas Indonesia yang terletak di bagian tengah Pulau Papua atau bagian paling timur West New Guinea (Irian Jaya). Belahan timurnya merupakan negara Papua Nugini atau East New Guinea.
Provinsi Papua dulu mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai Papua Barat terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), para nasionalis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia dan membentuk negara sendiri. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini dikenal sebagai Nugini Belanda (Nederlands Nieuw-Guinea atau Dutch New Guinea). Setelah berada di bawah penguasaan Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat meresmikan tambang tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002.
Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Pada 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan Papua Tengah dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.
Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli di Papua.
A.TRADISI PAPUA
1.Tradisi Sagu di Papua
Masyarakat Papua tidak lepas dari sagu. Sebab, bahan makanan yang berasal dari tanaman keras ini memunyai peran sosial dan ekonomi. Budaya sagu Papua juga tidak lepas dari budaya leluhurnya. Bahkan dulu, untuk menokok sagu diawali dengan upacara penghormatan kepada nenek moyang. Hal ini agar hasil yang didapat merupakan sari sagu yang bagus dan memberi kesehatan warga.
Diperkirakan, sedikitnya terdapat ratusan ribu hektare lahan sagu tersebar mulai dari Bintuni, Mimika, Merauke, Waropen, Membramo, hingga Sentani. Tidak pelak, bila Papua merupakan provinsi penghasil sagu terbesar di Indonesia, bahkan terluas di dunia. Luas lahan sagu menghampar seluas 771.716 hektare atau sekitar 85 persen dari luas hutan sagu nasional.
Masyarakat Papua mengenal budidaya sagu secara turun-temurun. Hal tersebut meliputi pemilihan bibit, teknik penanaman, dan pengolahan hasil. Meski budidaya sagu masih bersifat konvensional yang mengandalkan kondisi alam, termasuk pada pengolahan hasil yang masih mengutamakan tenaga manusia.
Usia panen sagu terbilang pendek. Pada usia tanam dua hingga tiga tahun, sari patinya sudah dapat diambil. Sari pati tersebut berupa tepung berwarna putih. Lalu, biasanya, masyarakat Papua memadatkannya dan disimpan di dalam keranjang agar tahan lama. Setiap keranjang mampu menyimpan hingga 30 kilogram sagu. Proses menebang sampai mendapatkan pati sagu memerlukan waktu maksimal sepekan. Tergantung keterampilan masing-masing orang Papua.
Biasanya yang mencari sagu dan memasaknya adalah tugas kaum perempuan. Sebab dipandang tidak membutuhkan tenaga dan fisik ekstra. Apalagi mencari sagu di Papua tidaklah sulit. Sedangkan kaum pria bertugas mencari lauk sagu dengan menangkap hewan atau menombak dan menjaring ikan di hutan mangrove.
Setelah ditemukan, pohon sagu pun ditebang. Proses tersebut biasanya menghabiskan waktu sekitar satu jam. Kemudian menguliti batangnya sehingga mendapatkan sagu yang berada di dalam pohon. Bagian ini lalu diambil dan ditumbuk.
Cara menumbuknya menggunakan pangkur. Bentuknya mirip cangkul. Hanya saja, pada bagian ujungnya seperti tombak, melancip, dan lebih kecil. Proses menumbuk sagu ini sesuai nama alat yang dipergunakan, yakni memangkur. Hasilnya, sagu tersebut mirip ampas kelapa. Lalu sagu dikumpulkan ke dalam sebuah wadah bambu yang sudah dibelah. Sagu selanjutnya dicampur air, lalu diperas. Air perasan inilah yang mengandung inti sagu. Selanjutnya, air perasan dibiarkan beberapa saat supaya inti sagu mengendap di dasar wadah. Perubahan warna air perasan dari putih menjadi jernih, pertanda inti sagu telah mengendap dan terpisah dari air.
Air kemudian pun dibuang. Sedangkan inti sagu dibentuk seperti bola tenis. Ada juga yang dibentuk memanjang mirip lontong. Sagu-sagu itu lalu mereka letakan dan bawa dengan tumang, keranjang yang terbuat dari rotan. Sagu pun siap dimasak dengan cara dibakar. Sagu akan terasa lebih nikmat jika dimakan bersama sayuran jamur yang berasal dari ampas remasan sagu yang sudah busuk. Dari satu pohon sagu dapat dikonsumsi oleh 10 orang selama dua hingga tiga pekan. Bahkan, ada yang sampai satu bulan.
2.Tradisi Potong Jari di Papua
Kesedihan saat telah ditinggal pergi oleh orang yang cintai dan kehilangan salah satu anggota keluarga sangat perih. Berlinangan air mata dan perasaan kehilangan begitu mendalam. Terkadang butuh waktu yang begitu lama untuk mengembalikan kembali perasaan sakit kehilangan dan tak jarang masih membekas dihati.
Lain halnya dengan masyarakat pegunungan tengah Papua yang melambangkan kesedihan lantaran kehilangan salah satu anggota keluarganya yang meninggal tidak hanya dengan menangis saja. Melainkan ada tradisi yang diwajibkan saat ada anggota keluarga atau kerabat dekat seperti; suami,istri, ayah, ibu, anak dan adik yang meninggal dunia. Tradisi yang diwajibkan adalah tradisi potong jari. Jika kita melihat tradisi potong jari dalam kekinian pastilah tradisi ini tidak seharusnya dilakukan atau mungkin tradisi ini tergolong tradisi ekstrim. Akan tetapi bagi masyarakat pegunungan tengah Papua, tradisi ini adalah sebuah kewajiban yang harus dilakukan. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah symbol dari sakit dan pedihnya seseorang yang kehilangan sebagian anggota keluarganya.
Bisa diartikan jari adalah symbol kerukunan, kebersatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga. Walaupun dalam penamaan jari yang ada ditangan manusia hanya menyebutkan satu perwakilan keluarga yaitu Ibu jari. Akan tetapi jika dicermati perbadaan setiap bentuk dan panjang memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan manusia. Satu sama lain saling melengkapi sebagai suatu harmonisasi hidup dan kehidupan. Jika salah satu hilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.
Alasan lainya adalah "Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik" atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu fam/marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya (Hisage, Yulianus Joli, 07:2005). Kebersamaan sangatlah penting bagi masyarakat pegunungan tengah Papua. Hanya luka dan darah yang tersisa. Pedih-perih yang meliput suasana. Luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga baru sembuh jika luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi. Mungkin karena itulah masyarakat pegunungan papua memotong jari saat ada keluarga yang meninggal dunia.
Salah seorang Ibu di Papua yang pernah melakukan tradisi potong jari
Menurut informasi yang telah berkembang, bahwa pemotongan jari umumnya dilakukan oleh kaum ibu. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan pemotongan dilakukan oleh anggota orang tua keluarga laki-laki atau perempuan. Jika tersebut kasus yang meninggal adalah istri yang tak memiliki orang tua, maka sang suami yang menanggungnya. Seperti yang telah tercontoh dalam Film karya anak bangsa berjudul “Denias, Senandung di atas Awan”. Pemotongan jari juga diartikan sebagai upaya pencegahan kembali atau penolakan musibah yang telah merenggut nyawa salah satu anggota keluarga.
Terkisah tentang kepercayaan pemotongan jari penolakan musibah agar tak terulang perenggutan nyawa telah terbukti melalui sumber yang menyebutkan bahwasanya bertemu dengan seorang ibu dari suku moni daerah Paniai pegunungan tengah Papua menceritakan tentang kelingkingnya yang terpotong bukan karena kematian keluarga melainkan digigit ibu kandungnya saat baru lahir. Peristiwa pemotongan kelingking terpaksa dilakukan karena sebelumnya banyak anak kecil yang baru lahir meninggal dunia. Dengan segala harapan agar peristiwa yang dialami anak-anak lain tidak terjadi pada anaknya maka ibu kandungnya memotong jari kelingkingnya dengan menggigit hingga terputus jari kelingkingnya. Sumber menyebutkan bahwa memang terbukti ibu dari suku moni yang di temui telah memberikan banyak cucu dan cicit kepada sang ibu kandungnya yang menggigit jari kelingkingnya hingga putus.
Tradisi potong jari juga dilakukan oleh para Yakuza di Jepang. Tradisi ini muncul dari kaum Bakuto yang berartikan kaum penjudi. Tradisi potong jari disebut dengan yubitsume. Berbeda dengan yang ada di Papua pemotongan jari sebagai penolakan musibah yang merenggut nyawa atau bentuk berkabung karena anggota keluarga meninggal dunia. Akan tetapi yubitsume (potong jari) dilakukan sebagai penyesalan atapun sebagai bentuk hukuman. Awalnya hukuman yubitsume bersifat simbolik, karena ruas atas jari kelingking yang dipotong membuat si empunya tangan menjadi lebih sulit memegang pedang dengan kuat. Hal ini menjadi simbol kesungguhan dan ketaatan terhadap pemimpin.
Tradisi potong jari di Papua dilakukan dengan berbagai cara ada yang menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak atau parang. Cara lainya yaitu mengikat jari dengan seutas tali sampai beberapa lama waktunya sehingga menyebabkan aliran darah terhenti dan pada saat aliran darah berhenti baru dilakukan pemotongan jari.
Selain tradisi pemotongan jari, ada juga tradisi yang dilakukan dalam upacara berkabung. Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan oleh kelompok atau anggota dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur mempunyai konotasi berarti setiap orang yang telah meninggal dunia telah kembali kea lam. Manusia berawal dari tanah dan kembali ke tanah.
Tradisi potong jari pada saat ini belom ada sumber yang mengatakan bahwa masih berlangsung tradisi potong jari, namun belum ada sumber juga yang menyebutkan tradisi ini telah punah dan tidak dilaksanakan lagi. Bisa dikatakan ada namun jarang ditemui atau dilakukan dikarenakan mungkin karena pengaruh agama yang mulai berkembang di sekitar daerah pegunungan tengah Papua.
3.Tradisi tari-tarian
Masyarakat pantai memilki berbagai macam tradisi tari-tarian yang biasa mereka sebut dengan istilah Yosim Pancar (YOSPAN), yang di dalamnya terdapat berbagai macam bentuk gerak seperti ; (tari gale-gale, tari balada cendrawasih, tari pacul tiga, tari seka) dan tarian sajojo dan masih banyak lagi. Lain halnya dengan tarian yang biasa dibawakan oleh masyarakat pegunungan yaitu tarian panah dan tarian perang.
Tarian yang dibawakan oleh masyarakat pantai maupun masyarakat pegunungan pada intinya dimainkan atau diperankan dalam berbagai kesempatan yang sama seperti; dalam penyambutan tamu terhormat, dalam penyambutan para turis asing dan yang paling sering dimainkan adalah dalam upacara adat. Khususnya tarian panah biasanya dimainkan atau dibawakan oleh masyarakat pegunungan dalam acara pesta bakar batu atau yang biasa disebut dengan barapen oleh masyarakat pantai. Tarian ini dibawakan oleh para pemuda yang gagah perkasa dan berani.
Dengan tarian Yospan maupun tarian panah yang unik, kaya dan indah tersebut para orang tua sejak dahulu berharap budaya yang telah mereka wariskan kepada generasi berikut tidak luntur, tidak tenggelam dan tidak terkubur oleh berbagai perkembangan zaman yang kian hari kian bertambah maju. Para pendahulu yaitu para orang tua berharap juga budaya tari-tarian yang telah mereka ciptakan dengan berbagai gelombang kesulitan, kesusahan dan keresahan tidak secepat dilupakan oleh generasi berikutnya. Mereka juga berharap dengan tidak adanya mereka tradisi Papua yang kaya tersebut semakin maju, semakin dikenal baik oleh orang di kalangan dalam negeri sendiri maupun dikenal di kalangan luar negeri dan juga semakin berkembang kearah yang lebih baik yang intinya dapat tetap mengakat derajat, martabat dan harkat orang Papua.
Namun semua harapan tinggallah harapan karena sebagaimana tradisi tarian yang dulunya para orang tua agungkan, sanjung dan hormati telah dilupakan secepatnya oleh para generasi berikutnya. Masuknya berbagai tradisi tarian baru dari dunia Barat membuat para putra-putri Papua lupa dengan budaya tari-tarian sesungguhnya yang telah cukup lama mendarah daging dalam kehidupan mereka. Berbagai tarian yang masuk dan berkembang dari dunia Barat di antaranya adalah tarian dancer, tarian too phat, tarian pantomin, tarian paranawe dan tarian lainnya yang intinya tarian ini mengarah kepada perkembangan dunia. Dengan memerankan tarian dari dunia Barat membuat para pemuda-pemudi Papua yang dulunya mengagungkan dan memuja tarian daerah mereka lupa diri dan besar kepala. Dengan kesombongan mereka membuat nama mereka termasyur dan terkenal padahal dibalik semua ketenaran mereka dengan nyata-nyata telah melanggar berbagai norma adat yang telah cukup lama diatur dan ditetapkan.
4. Tradisi Perkawinan
Perkawinan merupakan kebutuhan yang paling mendesak bagi semua orang. Dengan demikian masyarakat Papua baik yang di daerah pantai maupun di daerah pegunggungan menetapkan peraturan itu dalam peraturan adat yang intinya agar masyarakat tidak melanggar dan tidak terjadi berbagai keributan yang tidak diinginkan. Dalam pertukaran perkawinan yang ditetapkan orang tua dari pihak laki-laki berhak membayar mas kawin sebagai tanda pembelian terhadap perempuan atau wanita terebut.
Adapun untuk masyarakat pantai berbagai macam mas kawin yang harus dibayar seperti; membayar piring gantung atau piring belah, gelang, kain timur (khusus untuk orang di daerah selatan Papua) dan masih banyak lagi. Berbeda dengan permintaan yang diminta oleh masyarakat pegunungan di antaranya seperti; kulit bia (sejenis uang yang telah beredar dimasyarakat pegunungan sejak beberapa abad lalu), babi peliharaan, dan lain sebagainya. Dalam pembayaran mas kawin akan terjadi kata sepakat apabila orang tua dari pihak laki-laki memenuhi seluruh permintaan yang diminta oleh orang tua daripada pihak perempuan.
Kebiasaan yang sekarang ini masih terpelihara pada suku Dani yang berkaitan dengan pernikahan. Biasanya, seorang pria yang ingin berkenalan dengan wanita harus membangun komunikasi dengan keluarga dekat wanita tersebut. Jika tawaran itu diterima, perempuan bersangkutan melakukan apa yang disebut warga Dani bingga lakue atau bingga lakarak. Pada tahap ini, perempuan datang ke rumah laki-laki untuk memasak, lalu pergi. Tugas itu berlangsung lebih dari satu bulan. Apabila pihak perempuan merasa sudah waktunya mengetahui sikap orang tua pria, dilakukan upacara koeame wagarak atau perempuan datang untuk mendengar jawaban dari orang tua pria. Jika perempuan tersebut rajin dan cocok untuk jadi istri anak laki-lakinya, selanjutnya pihak orang tua menyampaikan persetujuan.
Tahap ketiga jalinan itu adalah koejiqui atau koejikopopiwogi. Pada tahap ini, orang tua perempuan mengantar anaknya kepada orang tua laki-laki. Biasanya, dilakukan acara potong babi dan diselenggarakan pesta adat. Sebelum diantar, orang tua perempuan merias sendiri anaknya, seperti mengenakan noken, kulit bia, dan berbagai perlengkapan adat lain.
Setelah mengantar anaknya, orang tua perempuan pulang. Selanjutnya, orang tua laki-laki mendatangi orang tua perempuan untuk mendata semua jenis pengeluaran berkaitan dengan acara koejikopopiwogi, terutama biaya untuk periasan anak menantunya. Acara ini dalam bahasa setempat disebut koewupugi. Setelah semua pengeluaran direkap, baru dilakukan pembayaran oleh pihak keluarga pria kepada keluarga perempuan.
Sama dengan Tradisi tarian, Tradisi perkawinan juga diharapkan dapat berkembang dan bertumbuh di masyarakat umum dengan baik dan benar agar tidak terjadi kepunahan tradisi. Namun apa yang terjadi pada zaman yang serba modern dan serba teknologi ini masyarakat Papua terlebih khusus para pemuda-pemudi tidak peduli lagi dengan tradisi yang telah ditetapkan sejak lama.
Tradisi perkawinan yang dipopulerkan sampai saat ini adalah tradisi kawin lari. Tradisi kawin lari adalah salah satu cara yang dilakukan agar pihak dari pada orang tua laki-laki terhindar dari pembayaran mas kawin. Tradisi kawin lari adalah tradisi kotor yang berasal dari luar Papua. Tradisi kawin lari dulunya bukanlah tradisi Papua, namun pengaruh era globalsasi yang kian maju dan modern membuat orang Papua melupakan tradisi mereka yang sesunguhnya.
Dengan berkembangnya tradisi kawin lari di kalangan masyarakat terutama orang Papua sendiri membuat nilai keaslian tradisi Papua yang dulunya sangat dihargai dan dihormati telah luntur begitu saja.
5.Tradisi Mengkonsumsi Minuman Keras
Sangat baik kalau kita mengkonsumsi minum-minuman yang dapat memberikan kesehatan dalam kehidupan kita tetapi apa jadinya kalau kita mengkonsumsi berbagai minum-minuman yang mengandung alkohol. Kasus inilah yang telah menjadi tradisi di masyarakt Papua. Dulunya minuman yang dianggap minuman keras dan dikonsumsi oleh orang Papua adalah minuman sejenis saguer atau yang biasa mereka sebut dengan minuman bobo. Minuman ini kalau dikonsumsi dapat menggaggu kesehatan namun tidak terlalu berdampak terhadap kesehatan kita.
Tetapi berbeda dengan berbagai minuman keras yang masuk dari luar Papua seperti Mansion House, Bir Bintang, Kawat Duri dan minuman lainnya yang tergolong dalam minuman keras yang dapat mengganggu kesehatan bahkan sampai dapat membuat nyawa seseorang lenyap apabila dikonsumsi terlalu berlebihan. Minuman-minuman keras seperti ini awalnya tidak pernah diketahui oleh orang Papua, namun perkembangan zaman yang kian modern membuat tradisi minum khususnya untuk minuman keras telah berkembang luas dikalangan seluruh masyarakat. Bahkan menurut beberapa orang tradisi minuman telah dimasukan kedalam layaknya budaya makan-minum di kehidupan sehari-hari.
Bukti kalau tradisi minuman keras telah membabi buta di Papua dengan berbagai pengamatan yang betul secara fakta. Seperti kalau diamati khususnya pada malam hari di terminal Taman Gizi terdapat banyak orang berkeliaran sambil mengahabiskan puluhan bahkan ratusan botol minuman, yang mengkonsumsi minuman tersebut bukan saja kaum pria namun ada juga kaum wanita. Selain di Taman Gizi di berbagi tempat-tempat hiburan seperti di perempatan Nabarua, di daerah Sanoba, di daerah Kalibobo dan masih banyak lagi tempat-tempat hiburan yang tersembunyi.
6.Tradisi Pemakaman di Papua
Pada suku Asmat, setiap kematian leluhur atau ‘sesepuh’ setempat akan dibuatkan satu patung terbuat dari kayu. Jika ada keturunannya yang meninggal yang dianggap leluhur juga oleh penduduk setempat, maka akan dibuatkan juga sebuah patung dari kayu dan akan diletakkan atau ‘dipasangkan’ tepat di atas leluhur sebelumnya. Hal ini dilakukan agar keturunannya kelak mengetahui sosok dari leluhurnya.
Namun hal yang dilakukan suku Asmat tersebut tidak ‘se-kstrim’ yang dilakukan oleh suku Dani dan suku Kamoro. Keduanya melakukan hal yang mungkin kurang wajar bagi kita semua untuk menghormati leluhurnya.
Suku Dani menjadikan mayat kepala suku atau sesepuh dan leluhurnya menjadi ‘mummie’. Mummie ini semacam ‘mumi’ atau mayat yang diawetkan. Cara pengawetannya sedikit unik, karena caranya adalah dengan melakukan ‘pengasapan’. Caranya adalah dengan membuat tiang-tiang dan dibawahnya adalah perapian. Perapian tersebut telah dicampur dengan sebuah ramuan yang konon bisa membuat mayat menjadi awet atau tidak menjadi busuk dan terurai. Yang anehnya lagi setiap keturunannya yang masih hidup diharuskan tidur di seiktar mayat leluhurnya yang diawetkan.
Suku-suku di Papua masih menggunakan cara mistis yang mungkin di luar logika manusia. Contohnya ada beberapa suku yang memberi sejenis ‘jimat’ kepada anak laki-laki yang sudah berusia 3 bulan, ketika anak tersebut sudah dianggap bisa menyentuh bumi. Setelah umur 13 tahun atau masa dewasa, anak laki-laki tersbeut diberikan jimat kembali, namun jimat kali ini disematkan di dalam daging di daerah punggung. Jadi, punggung sang anak dibedah dan dimasukkan jimat tersebut. Konon, saat beranjak dewasa setiap anak laki-laki dikarantina dan dididik agar menjadi pemberani serta tangguh. Hal inilah yang membuat laki-laki Papua bisa bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan alam.
7.Tradisi Perang Suku di Pedalaman Mimika Papua
Perang antarsuku seakan masih menjadi tradisi di beberapa daerah pedalaman Papua. Termasuk perang di Kelurahan Kwamki Lama, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika, antara suku Dani dan suku Damal.
DI wilayah Kabupaten Mimika ada tujuh suku. Mereka adalah Amungme, Kamoro, Dani, Damal, Nduga, Mee, dan Moni. Biasanya, kelompok-kelompok ini dipisahkan oleh letak geografis. Namun, bisa jadi, sebuah desa atau distrik ditinggali lebih dari satu suku.
Suku Kamoro, misalnya, tinggal di dataran rendah hingga bagian pantai Mimika. Suku Amungme banyak mendiami daerah pegunungan. Kedua suku tersebut banyak disebut orang sebagai suku asli Mimika. Lima suku lain datang dari wilayah kabupaten sekitar Mimika.Suku Dani berasal dari bagian barat Kabupaten Jayawijaya (Wamena). Suku Damal berasal dari Mulia, pertengahan antara Kabupaten Jayawijaya dengan Kabupaten Paniai. Kepala Suku Dani, sekaligus anggota DPRD Mimika, Philipus Wakerwa kepada JPNN mengungkapkan, pribadi keras dan tegas yang menjadi ciri khas warga pribumi tidak terlepas dari pengaruh topografi alam dan pola hidup di daerah pedalaman.
Akibatnya, saat berhadapan dengan perkembangan daerah yang cukup signifikan, mereka mengalami keterkejutan budaya (cultural shock). Karena itu, kuat kesan bahwa warga pedalaman Papua resistan dengan perubahan. Bahkan, sering mereka menyikapinya dengan emosional.Ada dua persoalan yang bisa memicu warga angkat panah. Balas dendam karena anggota keluarganya disakiti atau kasus perselingkuhan. Biasanya, perselingkuhan bisa di dalam kerabat atau dengan suku lain.
Sebagian besar warga pedalaman belum melek hukum. Hampir semua warga Dani di sini (Mimika, red) berasal dari daerah pedalaman, khususnya lembah Baliem (Kabupaten Jayawijaya). Jadi, ketika berhadapan dengan keharusan mengikuti hukum positif, sangat sulit.
Mereka lebih taat kepada hukum adat daripada hukum nasional. Yang lebih mendominasi pikiran mereka adalah aturan adat. Ini juga terbentuk karena hidup di pedalaman penuh tantangan. Bukan hanya alam yang keras, tuntutan mencari nafkah mengharuskan mereka berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun naik turun gunung dan lembah. Jangan heran apabila watak masyarakat pribumi keras dan tegas.
Juga dijelaskan, seorang suku Dani -juga lima suku lain: Amungme, Moni, Damal, Nudga, Mee- yang meninggal dalam perang harus dibakar. Pembakaran mayat tersebut merupakan persembahan kepada arwah nenek moyang.
Sebab, sebelum perang adat, kepala suku dan kepala perang harus melakukan upacara memanggil arwah. Menurut kepercayaan warga Dani, sudah ditentukan arwah nenek moyang yang menjaga mereka selama perang. Setelah membakar, kubu bersangkutan harus menyampaikan pada kubu lawan tentang nama dan identitas mayat yang dibakar. Ini bertujuan
agar kubu lawan senang dan kubu yang menderita tidak mendapat gangguan dari arwah.
Menurut data yang dihimpun Radar Timika dari sejumlah sumber, baik suku Dani maupun suku Damal memiliki sejumlah marga. Pada suku Dani, terdapat marga Wakerwa, Waker, Kogoya, Tabuni, Wenda, dan Magai. Pada suku Damal, marganya adalah Mom, Murib, Waker, Kum, Kiwak, Kibak, Jolemol, dan Magai.
Secara umum kehidupan suku Dani dan Damal termasuk yang terbelakang di Papua. Lambatnya kedua suku itu menerima kemajuan bisa dilihat dari sector pendidikan dan sektor kehidupan sosial. Namun, yang paling utama penerimaan Injil (sebagai kabar baik) yang belum merata diterima masyarakat kedua suku.
Suku Dani dan Damal memang sering berperang. Menurut dia, bentrokan itu merupakan akibat iman kepercayaan secara umum masyarakat kedua suku belum kuat (teguh). ''Kabar dari Injil belum seluruhnya diterima masyarakat. Meski ada yang menerima, tapi hanya seberapa? Alasan itu menjadi dasar kuat sering terjadi perang walaupun masalah awalnya kecil."
Penyebab perang dan akibat yang biasanya ditanggung. Pertama, bila anak gadis orang lain diambil tanpa sepengetahuan orang tua atau keluarga dekat anak gadis itu. Pada era 1990-an, soal seperti itu diselesaikan dengan membayar lima ekor babi. Tapi, kemudian, denda bisa
dibayar dengan uang.
Kedua, bila istri berselingkuh dengan pria lain (meksipun si lelaki bagian keluarga). Penyelesaiannya didenda lima ekor babi. ''Setelah itu bisa akur kembali. Tapi, bila pihak laki-laki bersikeras, maka setelah dibuat denda adat, sang istri dicerai."
Ketiga, pencurian terhadap barang berharga seperti kulit kerang yang sering dipakai sebagai maskawin pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Penyelesaiannya dibuat acara potong dua ekor babi, lalu barang berharga yang dicuri itu dikembalikan.
Keempat, pencurian terhadap hewan piaraan, seperti babi, burung, atau tanaman di kebun (ladang). Penyelesaiannya, diselenggarakan rapat, lalu dilakukan pembayaran denda tiga ekor babi sebagai ganti rugi.
Kelima, bila ada dua orang berbeda marga makan bersama, setelah saling berpisah kemudian salah satunya sakit. Ini bisa menimbulkan rasa curiga kepada orang yang sebelumnya makan bersama si sakit.
Keenam, bila ada sepuluh orang bekerja di ladang, kemudian salah satu di antaranya terluka. Kecurigaan korban dilukai oleh sembilan orang lain bisa muncul bila tidak ada penjelasan kepada keluarganya.
Ketujuh, misalnya ada tiga anak kecil bermain bersama, kemudian salah satunya tiba-tiba sakit. Dua anak lainnya akan dimintai penjelasan. Bila tidak ada penjelasan yang baik dari kedua anak tersebut, orang tua akan menyelesaikannya.
Dalam kehidupan sehari-hari suku Dani, rasa curiga masih tinggi. Seorang laki-laki yang kedapatan berjalan dengan seorang gadis tanpa ikatan resmi, misalnya, bisa menyulut perang.
B.KEARIFAN LOKAL PAPUA
1.Kerajinan Papua
Papua memiliki keragaman keunikan khas daerah, seperti noken, saly, honay, koteka, ukiran, dan sebagainya. Meski kemajuan pembangunan dan informasi telah menempatkan keunikan-keunikan itu sebagai sesuatu ketertinggalan, tetapi memberi makna sebagai kearifan budaya dan tradisi lokal. Runyamnya, keunikan tersebut tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat.
Wakil Ketua DPR Papua Paskalis Kosay di Jayapura mengemukakan, ada beberapa peralatan tradisional yang ditinggalkan nenek moyang dan masih bertahan sampai hari ini. Misalnya, noken (bahasa daerah Biak, artinya tas), keranjang yang digunakan kaum pria dan wanita di Papua. Noken merupakan salah satu bentuk aksesori yang paling diminati masyarakat.
Noken terbuat dari tali hutan (kayu) khusus yang tidak mudah putus, seperti rotan atau pohon lainnya. Noken mengalami perkembangan cukup bagus dibandingkan dengan fasilitas tradisional lainnya. Setelah noken dianyam, diberi warna-warni sehingga berpenampilan lebih memikat pemilik. Noken dihargai antara Rp 15.000 - 100.000 per buah.
Saat ini noken lebih banyak ditemukan di Paniai. Daerah ini dikenal sebagai gudang noken. Namun, penduduk setempat menyebutnya agiya. Di Paniai dikenal enam jenis agiya, yakni goyake agiya, tikene agiya, hakpen agiya, toya agiya, kagamapa agiya, dan pugi agiya.
Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata Kabupaten Paniai Thomas Adi menyebutkan, jenis-jenis agiya ini dibedakan sesuai bahan, bentuk, warna, dan pemakaian dalam suku.
Di Paniai dikenal ada lima suku, yakni Mee menguasai goyage agiya, suku Dani menguasai tikene agiya dan hakpen agiya, suku Ekari menguasai jenis toya agiya, suku Nduga memiliki kagmapa agiya, dan suku Moni menguasai pugi agiya. Tetapi, belakangan ini hampir semua jenis agiya menyebar tanpa batas suku, agama, dan warna kulit. Bahkan menyebar sampai ke seluruh Papua.
Noken atau agiya ini bagi perempuan di pedalaman biasa digunakan menyimpan anak bayi, babi, umbi-umbian, sayur, dan pakaian. Sering terlihat di dalam sebuah noken dengan tali digantung di bagian kepala mengarah ke bagian punggung dan belakang perempuan. Di dalam noken/agiya ini kadang-kadang disimpan bayi dan di sampingnya diletakkan umbi-umbian dan sayur-sayur.
Bahan dasar agiya, yakni kulit kayu dan anggrek. Daerah Pegunungan Tengah terkenal dengan berbagai jenis anggrek hutan. Namun, anggrek-anggrek ini belum dikenal dan diidentifikasi secara teratur. Tanaman anggrek sendiri belum dibudidayakan oleh masyarakat Papua. Padahal, anggrek dapat meningkatkan kesejahteraan. Beberapa warga pendatang mencoba mengumpulkan jenis-jenis anggrek Papua dan mengikuti sejumlah pameran di luar Papua, sehingga menjadikan anggrek sebagai sumber hidup utama.
Di Sentani, Kabupaten Jayapura, noken disebut holoboi, sedangkan noken besar untuk kaum bangsawan disebut wesanggen. Saly, pakaian bawahan perempuan suku Dani, di Pegunungan Tengah Papua, terbuat dari serat kayu atau serat pelepah pisang. Batang serat (pelepah) pisang dihaluskan kemudian diiris dalam bentuk tali-tali panjang, dikeringkan, kemudian dirajut menyerupai pakaian bawahan perempuan. Belakangan bahan dasar saly dari benang dan kulit kayu berkualitas.
Seorang perempuan suku Dani mengenakan saly pada usia lima tahun. Bagian atas tidak ada pakaian khusus. Bagi anak-anak gadis saly yang sama juga sering digunakan untuk menutup bagian dada. Tetapi, bagi kebanyakan kaum ibu, bagian atas (dada) sengaja tidak tertutup dengan maksud dengan mudah menyusui sang bayi.
Selain itu, Papua juga memiliki rumah tradisional yang disebut honay. Rumah tradisional suku-suku di Pegunungan Tengah ini berbentuk lingkaran dengan diameter 3-5 meter, dengan bagian atap berbentuk kerucut. Ada honay khusus untuk ternak babi, ada honay khusus untuk kaum pria, dan honay khusus untuk kaum wanita.
Ruangan dalam honay yang sengaja dibangun sempit serta tidak memiliki ventilasi (jendela) ini bertujuan untuk menahan hawa dingin. Daerah Pegunungan Tengah, seperti Puncak Jaya (5.030 m) dan Paniai memiliki suhu sampai 5 derajat Celsius. Guna mengatasi udara dingin itu, orang-orang pedalaman terpaksa membuat honay setinggi sekitar 2,5 meter, dan di dalam honay itu dipasang api unggun untuk menghangatkan badan.
Tetapi, dalam perkembangan terakhir seiring kemajuan pembangunan di daerah itu, sejumlah alat-alat tradisional Papua di atas mulai dipadukan dengan beberapa pakaian hasil produksi pabrik. Misalnya, saly dipadukan dengan celana pendek, bra, dan pakaian perempuan jenis lainnya.
Di kalangan perempuan terpelajar di Pegunungan Tengah, pakaian perempuan tradisional ini tidak lagi digunakan. Bahkan, perempuan suku Dani pun sudah sangat jarang terlihat mengenakan saly kecuali pada upacara adat tertentu.
Pemerintah daerah setempat menganggap, noken, saly, koteka, busur panah, umbi-umbian, dan sejumlah keunikan lain di Pegunungan Tengah adalah suatu simbol "keterbelakangan". Karena itu, tidak ada perhatian serius dari pemda setempat untuk melestarikan keunikan-keunikan tersebut. Bahkan, ada upaya pemda menghapus keunikan itu karena dinilai sebagai bagian dari ketertinggalan pembangunan.
Belum ada satu konsep terpadu bagaimana mempertahankan sejumlah keunikan ini sambil terus meningkatkan pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan di kalangan masyarakat pedalaman. Seharusnya, keunikan–keunikan Papua tidak harus dikorbankan demi pembangunan atau sebaliknya.
Pengalaman menunjukkan, ketika pemerintah menganggap bahwa makanan sagu di kalangan orang Papua tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan harus dimusnahkan, ternyata pandangan itu terbukti tidak membawa kemajuan berarti bagi orang Papua. Sejumlah lahan sagu telanjur dibasmi, tetapi pertanian modern seperti padi sawah tidak pernah dikembangkan di kalangan orang Papua sejak 40 tahun terakhir ini.
2.Ukiran Kayu Suku Asmat
Karya ukir kayu khas Suku Asmat adalah salah satu kekayaan budaya nasional yang sudah memiliki nama bagi para turis asing. Karakteristik ukiran Suku Asmat mempunyai pola yang unik dan bersifat naturalis. Dari pola-pola itu terlihat kerumitan cara membuatnya sehingga membuat karya ukir mereka bernilai tinggi dan cukup banyak diminati para turis asing.
Dari segi model, ukiran Suku Asmat sangat beragam, mulai dari patung manusia, perahu, panel, perisai, tifa, telur kaswari, sampai ukiran tiang. Suku Asmat biasanya mengadopsi pengalaman dan lingkungan hidup sehari-hari sebagai pola ukiran mereka, seperti pohon, perahu, binatang, orang berperahu, dan lain-lain.
Masyarakat Asmat terdiri dari 12 sub etnis, dan masing-masing memiliki ciri khas pada karya seninya. Begitu juga dengan kayu yang digunakan, ada juga perbedaannya. Ada sub etnis yang menonjol ukiran patungnya, ada yang menonjol ukiran salawaku atau perisai, ada pula yang memiliki ukiran untuk hiasan dinding dan peralatan perang.
Yang paling istimewa dan unik adalah bahwa setiap karya ukir tidak memiliki kesamaan atau duplikatnya karena mereka tidak memproduksi ukiran berpola sama dalam skala besar. Jadi, kalau kita memiliki satu ukiran dari Asmat dengan pola tertentu, itu adalah satu-satunya yang ada karena orang Asmat tidak membuat pola sama dalam ukirannya. Bentuk boleh sama, misalnya perisai atau panel, tetapi soal pola pasti akan berbeda. Itulah keunikan ukiran Suku Asmat.
3.Warna Alami Untuk Merias Di Suku Asmat
Suku Asmat memiliki cara yang sangat sederhana untuk merias diri mereka. Mereka hanya membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah, untuk menghasilkan warna putih mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan, sedangkan warna hitam mereka hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. Cara menggunakan pun cukup simpel, hanya dengan mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunakan untuk mewarnai tubuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar