Rabu, 16 Juni 2010

MODEL-MODEL PENDIDIKAN MULTIKULTURAL


BAB I
PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG
Pengembangan Pendidikan Multikultral dalam KTSP Motto “Bhineka Tunggal Ika” yang tercantum dalam lambang negara kita sangat tepat dalam menggambarkan realita yang ada. Data secara antropologis menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa yang memiliki keragaman sosial dan budaya. Kelompok-kolompok budaya besar seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Dayak, Jawa, Bugis-Makasar, Ambon, Papua dan lain-lain adalah contoh dari keberagaman tersebut. Belum lagi kelompok-kelompok budaya yang relatif lebih kecil dibanding dengan kelompok pendukung kebudayaan sebelumnya. Dalam realita yang seperti ini maka pendidikan multikultur merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Pendidikan multikultural merupaan pendidikan yang memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya hidup di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Dalam konteks Indonesia yang sarat dengan kemajemukan, pendidikan ini memiliki peran yang sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif (Ngainun naim dan Achmad Sauki, 2008: 191).
Pendidikan yang diharapkan mampu menghasilkan output yang bisa menjawab tantangan zaman tidaklah mudah diwujudkan. Pendidikan adalah proyek jangka panjang semua negara, tak terkecuali Indonesia. Pendidikan manjadi standar dan tolok ukur seberapa jauh sebuah negara itu mampu bersaing di dunia internasional.

Semakin baik mutu pendidikan yang dimiliki suatu negara, maka negara tersebut semakin siap bersaing di kancah global. Begitu sebaliknya semakin rendah mutu pendidikan suatu bangsa maka negara tersebut kian terpuruk dan tersingkirkan dalam perhelatan dunia global.

  1. RUMUSAN MASALAH

  1. Bagaimana sejarah model-model pendidikan multicultural?

  2. Bagaimana perkembangan model-model pendidikan mutikultural?

  3. Seberapa penting model-model pendidikan multicultural?


BAB II
PEMBAHASAN
Model-Model Pendidikan Multikultural

  1. Sejarah model-model pendidikan multicultural
Kita tahu bahwa selama kurun waktu 32 tahun negara ini dibawah kekuasaan orde baru. Dimana selama kurun waktu itulah kemajemukan yang dimiliki bangsa ini terkekang dan hanya diperkenalkan melalui simbol saja tanpa menyentuh pada esensinya. Politik monokulturalisme yang dilaksanakan oleh pemerintah orde baru atas nama stabilitas untuk pembangunan telah meniadakan local cultural genius. Padahal sistem atas tradisi sosialkultural merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya.
Lembaga pendidikan sebagai pembentuk karakter bangsa mendapatkan tantangan tersebut. Bagaimana pendidikan bisa menjawab kebutuhan masyarakat yakni meredam konflik dan membangun suasana kehidupan yang damai antar kelompok, suku, ras dan agama. Itulah yang menjadi pertanyaan pokok sebagai evaluasi kita bersama. Kebutuhan masyarakat yang heterogen adalah kebutuhan untuk hidup damai dan rukun. Pada titik inilah diperlukan strategi peberdayaan masyarakat dalam dinamika multikultural. Tawarannya adalah kesadaran multikulturalisme yang dibangkitkan melalui pendidikan multikultural di sekolah-sekolah.
Untuk konteks Indonesia, teori ini sejalan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Secara normatif, semboyan tersebut memberi peluang kepada semua elemen bangsa untuk mengapresiasikan identitas bahasa, etnik, budaya dan agama masing-masing, dan bahkan diizinkan untuk mengembangkannya.
Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif untuk meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus mengharagai keberagaman etnis, agama, ras, dan golongan. Sebab problem penstrukturanmasyarakat yang heterogen dalam sebuah wilayah daerah tidak bisa diselesaikan tanpa adanya pendidikan multikultural.
Berpijak dari fakta di atas, maka pendidikan berbasis multikultural menemukan titik urgensitasnya. Hadirnya pendidikan multikultural di tengah-tengah dunia pendidikan kita menjadi hal sangat mendesak. Sebab selain menawarkan solusi untuk keluar dari konflik yang berbau sara, model pendidikan ini juga mengandalkan terbentuknya rasa toleransi, saling menghormati, menghargai dan menjunjung tinggi rasa kebersamaan dalam perbedaan.

Menurut Jose A.Cardinas (1975) dalam Mundzier Suparta, menjelaskan pentingnya pendidikan multikultural ini didasarkan pada lima pertimbangan:

  1. ketidakampuan hidup secara harmoni (incompatibility),

  2. tuntutan bahasa lain (other language acquisition),

  3. keberagaman budaya (cultural pluralism),

  4. pengembangan citra diri yang positif (development of positive self-image), dan

  5. kesetaraan memperoleh kesempatan pendidikan (equility of educational opportunity).

Di lain pihak, Donna M.Gollnick(1983) menyebutkan bahwa pentingnya pendidikan multikultural dilatar belakangi oleh beberapa asumsi:

  1. setiap budaya dapat berinteraksi dengan budaya lain yang berbeda, dan bahkan dapat saling memberi kontribusi;

  2. keadilan sosial dan kesempatan yang setara bagi semua orang merupakan hak bagi semua warga negara;

  3. distribusi kekusaan dapat dibagi secara bersama kepada semua kelompok etnik,

  4. sistem pendidikan memberikan fungsi kritis terhadap kebutuhan kerangka sikap dan nilai demi kelangsungan masyarakat demokratis; serta

  5. para guru dan para praktisi pendidikan dapat mengasumsikan sebuah peran kepemimpinan dalam mewujudkan lingkungan yang mendukung pendidikan multikultural.

Sementara itu, pendidikan multikultural menjadi penting sebab konsep ini setidaknya bertumpu pada dua keyakinan. Pertama, secara sosial semua kelompok budaya dapat di representasikan dan hidup berdampingan bersama dengan orang lain. Kedua, diskriminasi dan rasisme dapat direduksi melalui penetapan citra positif keragaman etnik dan pengetahuan budaya-budaya lain. Oleh karena itu wawasan dan gagasan multikultural perlu dikukuhkan dalam dunia pendidikan.
Bila pendidikan multikultural dapat dilakukan di sekolah-sekolah, hasilnya akan melahirkan peradaban dan bengunan masyarakat yang toleran, demokratis, penuh kebajikan, suka tolong menolong, tenggang rasa, keharmonisan, keindahan dan menjunjung nilai-nilai kemanusiaan. Intinya , gagasan dan rancanan ekolah yang berbasis multikultural adalah sebuah keniscayaan dengan catatan bahwa kehadirannya tidka mengaburkan dan atau menciptakan ketidakpastian jati diri para kelompok yang ada.
Sebaiknya perguruan tinggi, termasuk perguruan tinggi berafiliasi agama pengembangan model pendidikan multikultural dilakukan secara terintegrasi. Kurikulum perguruan tinggi perlu mengadopsi dan mengakomodasi keanekaragaman nilai di masyarakat berbasis budaya dan agama berbeda. Perguruan tinggi dapat mengembangkan model pendidikan sesuai kebutuhan dan kondisi masing-masing. Dengan pengembangan kurikulum itu, diharapkan perguruan tinggi dapat menjadi agen perdamaian dan kemajuan bangsa, tak terkecuali perguruan tinggi berafiliasi agama.
Pendidikan multikultural juga dinilai penting guna menjembatani perbedaan kepentingan dan perbedaan karakter dalam pendidikan-pendidikan lokal. Perbedaan kepentingan merupakan salah satu kendala pembangunan pendidikan nasional selama lebih dari setengah abad terakhir.
Multikulturalisme dalam konteks menghargai budaya dan agama lain merupakan salah satu pengamalan akidah agama Islam. Dalam Islam disebutkan, kita juga harus mengayomi agama dan budaya lain selama mereka tidak mengganggu tatanan dan sistem yang ada. Akan tetapi, prinsip pluralisme yang menyamaratakan agama-agama yang berbeda tidak bisa diterima, padahal agama tidak sama satu sama lain.
Masyarakat Negara Kesatuan Republik (NKRI) terdiri atas berbagai suku bangsa dan setiap suku bangsa berbeda dalam banyak hal dengan suku bangsa lainnya. Adanya berbagai perbedaan tidak hanya memberikan keunikan yang menarik yang dapat dibanggakan, namun di pihak lain dapat menimbulkan berbagai konflik. Dengan munculnya konflik besar di Indonesia seperti di Ambon, Poso, Aceh, Papua, dan konflik-konflik lainnya semakin dirasakan bahwa perlu ada cara untuk membekali anak-anak sebagai penerus bangsa untuk menghambat terjadinya konflik dan menjaga kesatuan NKRI. Salah satu cara yang tepat untuk menjaga kesatuan NKRI adalah melalui pendidikan multikultural pada anak-anak sekolah dasar (SD) dengan menggunakan Seri Pustaka Anak Nusantara (Seri PAN) yaitu film semi dokumenter dalam bentuk VCD yang dilengkapi buku narasi dan aktivitas anak. Seri PAN ini merupakan salah satu bentuk materi pembelajaran untuk pendidikan multikultural hasil kerja sama VISI ANAK BANGSA dengan INDOFOOD dan DIAN RAKYAT.
Model penyelenggaraan pendidikan multikultur di sekolah dapat dilakukan dengan cara terintegrasi dalam mata pelajaran pada kurikulum tingkat satuan pendidikan. Oleh karena itu, pembelajaran pendidikan multikultur ini diharapkan tidak merubah struktur kurikulum dan tidak menambah alokasi waktu. Penerapan atau pengintegrasian pendidikan multikultur secara jelas terlihat dalam silabus dan RPP. Melalui cara itu, maka akan terimplementasikan dalam kegiatan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas secara kontekstual. Selain itu, pendidikan multikultur juga bukan mata pelajaran terpisah sehingga harus terintegrasi dan bukan merupakan pengetahuan yang bersifat kognitif sehingga materi seyogyanya dikemas dalam bentuk afektif dan kinerja siswa serta pendekatan materinya dapat bersifat tematis. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah upaya menerapkan atau mengintegrasikan muatan nilai-nilai yangterkandung dalam pendidikan multikultur kedalam mata pelajaran melalui kegiatankegiatan sehingga dapat diterapkan dan tercermin dalam kehidupan peserta didik. Selain itu, penerapan atau pengintegrasian pendidikan multikultur harus dilakukan dan terlihat dalam aktivitas seluruh warga sekolah maupun dalam manajemen sekolah secara umum (Pusat Kurikulum Depdiknas 2007).
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan multikultural yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju, dikenal lima pendekatan, yaitu:

  1. pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturalisme.

  2. pendidikan mengenai perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan.

  3. pendidikan bagi pluralisme kebudayaan.

  4. pendidikan dwi-budaya.

  5. pendidikan multikultural sebagai pengalaman moral manusia
Hal-hal dikembangkan dalam menentukan model multikulruralisme di Indonesia adalah adanya keanekaragaman etnik, budaya, agama, ekonomi, sosial, dan gender. Selain itu, dari segi geografis wilayah Indonesia memiliki keunikan tersendiri karena wilayah dan pulaunya yang terpencar-pencar dan bervariasi, yang berbeda dengan kondisinya dengan negara lain. Dengan pendekatan multikultural ini, fenomena negatif yang ada di masyarakat seperti deskriminasi, stereotip, dominasi,ketidakadilan, ketimpangan dan prasangka buruk dapat dikurangi, sehingga masyarakat yang berkeadilan, berkeselarasan, berkemitraan dan bertoleransi dapat segera terwujud di Indonesia.


  1. Pengembangan pendidikan multikultural
Ngainun Naim dan Achmad Sauki (2008: 198) menjelaskan bahwa dalam pengembangannya, kurikulum dengan menggunakan pendekatan mutikultural haruslah didasarkan pada prinsip:

  1. keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat, teori, model, dan hubunga sekolah dengan lingkungan sosial budaya setempat,

  2. keragaman budaya menjadi dasar dalam pengembangan berbagai komponene kurikulum seperti juan, konten, proses, dan evaluasi,

  3. budaya di lingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belaar anak didik,

  4. kurikulum beperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional.
Ada beberapa tahapan yang diperhatikan dalam pengembangan kurikulum berbasis pendidikan multicultural (Pusat Kurikulum, 2007), yakni:

  1. Merumuskan visi, misi, tujuan sekolah, dan pengembangan diri yang mencerminkan kurikulum sekolah yang berbasis multikultur.

  2. Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Yang Bermuatan Multikultur, dengan memperhatikan hal-hal berikut:

    1. Urgensi dengan kehidupan peserta didik yang berhubungan dengan multikultur;

    2. keterkaitan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar dalam mata pelajaran lain yang memuat multikultur;

    3. elevansi dengan kebutuhan peserta didik dalam masyarakat yang multikultur;

    4. keterpakaian atau kebermaknaan bagi peserta didik dalam aktivitas kehidupansehari-hari.

  1. Mengidentifikasi Materi Pembelajaran Yang Bermuatan Multikultur, dengan mempertimbangkan:

    1. keberagaman peserta didik;

    2. karakteristik mata pelajaran;

    3. relevansi dengan karakteristik daerah;

    4. tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spritual peserta didik;

    5. kebermanfaatan bagi peserta didik;

    6. aktualitas materi pembelajaran; dan

    7. relevansi dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan lingkungan.

  1. Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran Yang Bermuatan Multikultur. Kegiatan pembelajaran dirancang untuk memberikan pengalaman belajar yang melibatkan proses mental dan fisik melalui interaksi antarpeserta didik, peserta didik dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya dalam rangka pencapaian kompetensi dasar. Kegiatan pembelajaran yang dimaksud dapat terwujud melalui penggunaan pendekatan pembelajaran inkuiri dan berpusat pada peserta didik dan dengan menerapkan beberapa metode yang relevan seperti metode diskusi, tanya jawab, bermain peran, penugasan, dan lain sebagainya. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran yang memuat multikultur adalah sebagai berikut:

    1. Kegiatan pembelajaran multikultur disusun untuk memberikan bantuan kepada para pendidik (guru), agar dapat melaksanakan proses pembelajaran secara profesional.

    2. Kegiatan pembelajaran multikultur memuat rangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik.

    3. Penentuan urutan kegiatan pembelajaran harus sesuai dengan materi pembelajaran muatan multikultur.

    4. Rumusan pernyataan dalam kegiatan pembelajaran yang bermuatan multikutur minimal mengandung dua unsur yaitu kegiatan peserta didik dan materi multikultur.

  1. Merumuskan Indikator Pencapaian Kompetensi Yang Bermuatan Multikultur. Indikator yang bermuatan multikultur merupakan penanda pencapaian kompetensi dasar yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang bermuatan multikultur. Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, lingkungan dan potensi daerah yang dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian.

  2. Penentuan Jenis Penilaian Yang Bermuatan Multikultur Penilaian pencapaian kompetensi dasar yang bermuatan multikultur bagi peserta didik dilakukan berdasarkan indikator yang bermuatan multikultur. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri. Penilaian yang bermuatan multikultur merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.

  3. Menentukan Sumber Belajar Yang Bermuatan Multikultur Sumber belajar adalah rujukan, objek dan/atau bahan yang bermuatan multikultur digunakan untuk kegiatan pembelajaran, yang berupa media cetak dan elektronik, narasumber, serta lingkungan fisik, alam, sosial, dan budaya. Penentuan sumber belajar yang bermuatan multikultur didasarkan padastandar kompetensi dan kompetensi dasar serta materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi.


  1. Pentingnya model-model pendidikan multikultural
Sebagai bangsa heterogen atau majemuk, multukulturalisme menjadi sangat penting dikembangkan maka program-program multikultural senantiasa diarahkan untuk menumbuhkan pemahaman dan partisipasi dari kelompok-kelompok masyarakat agar tumbuh simpati terhadap perjuangan multikultural tersebut. Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai berikut :

  1. multikulturalisme perlu menjadi bagian kurikulum pendidikan. Dimensi multikultural harus tercermin di dalam pelajaran kewarganegaraan, geografi, sastra, sejarah, politik dan ekonomi. Pendidikan agama dan moral perlu memperkenalkan realita pluralitas, tanpa mereduksi ke dalam relativisme. Akan lebih baik bila pemeluk agama yang bersangkutan yang memberi penjelasan.

  2. di dalam ruang publik, dimensi multikultural perlu mendapat dorongan, selain dalam bentuk politik, juga dalam ekspresi seni, teater, musik dan film.

  3. perlu dikembangkan program yang memungkinkan dijaminnya refresentasi minoritas di dalam politik, pendidikan dan lapangan kerja.

  4. pemerintah perlu mendorong pengelola media massa seperti radio, televisi, koran, majalah dan internet agar memperhatikan dan mempunyai kepedulian multikultural.
Bentuk-bentuk kreativitas lain diperlukan untuk mengintensifkan perjumpaan dan dialog. Kebijakan multikultural biasanya mengusik kemapanan kelompok mayoritas yang sudah menikmati privilese sebagai kelompok dominant. Penyebabnya ialah bahwa multikulturalisme mempunyai implikasi terhadap masalah representasi politik, budaya, lapangan kerja dan pendidikan. Maka reaksi pertama biasanya akan mendiskualifikasinya sebagai gagasan yang mau mepertahankan hegemoni dan kepentingan-kepentingan serta para pendukung mereka. Pemahaman bahwa kelompok-kelompok budaya dan minoritas yang kuat akan mampu memberdayakan civil society tidak masuk dalam perspektif para penentang multikulturalisme.
Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Sejumlah kritikus melihat bahwa revisi kurikulum sekolah yang dilakukan dalam program pendidikan multikultural di Inggris dan beberapa tempat di Australia dan Kanada, terbatas pada keragaman budaya yang ada, jadi terbatas pada dimensi kognitif.
Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan model pendidikan multikultural yang mencakup revisi atau materi pembelajaran, termasuk revisi buku-buku teks. Terlepas dari kritik atas penerapnnya di beberapa tempat, revisi pembelajaran seperti di Amerika Serikat merupakan strategi yang dianggap paling penting dalam reformasi pendidikan dan kurikulum. Penulisan kembali sejarah Amerika dari perspektif yang lebih beragam meruapakan suatu agenda pendidikan yang diperjuangkan intelektual, aktivis dan praktisi pendidikan. Di Jepang aktivis kemanusiaan melakukan advokasi serius untuk merevisi buku sejarah, terutama yang menyangkut peran Jepang pada perang dunia II di Asia. Walaupun belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia.
Model lainnya adalah pendidikan multikultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri. Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model "sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan masuknya wacana multikulturalisme, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakat luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: transformasi diri, transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, transformasi masyarakat.








BAB III
KESIMPULAN
Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai untuk mencapainya. Pendidikan multikultural di Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan Gorski, pendidikan multikultural dapat mencakup tiga hal jenis transformasi, yakni: transformasi diri, transformasi sekolah dan proses belajar mengajar, transformasi masyarakat.
Pendidikan multikultural juga dinilai penting guna menjembatani perbedaan kepentingan dan perbedaan karakter dalam pendidikan-pendidikan lokal. Perbedaan kepentingan merupakan salah satu kendala pembangunan pendidikan nasional selama lebih dari setengah abad. Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif untuk meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus mengharagai keberagaman etnis, agama, ras, dan golongan.
Pendidikan multukulturalisme menjadi sangat penting dikembangkan maka program-program multikultural senantiasa diarahkan untuk menumbuhkan pemahaman dan partisipasi dari kelompok-kelompok masyarakat agar tumbuh simpati terhadap perjuangan multikultural tersebut.









DAFTAR PUSTAKA

Agustian,Cunha, Darmoyo, dan Warmiyati.2006.Multikultural untuk Anak Usia Sekolah - Panduan Untuk Guru pendidikan-Multikultural-Di-Indonesi(http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=13&id=3453),10 Maret 2010.

2009.Modelmodelpendidikanmulticultural(http://educationmantap.blogspot.com/2009/12/pendidikan-multikultural.html), 10 Maret 2010.



Pend Pengembangan Model Pendidikan .(http://www.scribd.com/doc/24643744/Urgensi
Pend Pengembangan Model Pendidikan), 10 Maret 2010.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pictures