Rabu, 16 Juni 2010

TRADISI DAN KEARIFAN LOKAL DI PULAU BALI

Hari Raya Nyepi.
Hari Raya Nyepi dirayakan setiap tahun Baru Caka (pergantian tahun Caka). Yaitu pada hari Tilem Kesanga (IX) yang merupakan hari pesucian Dewa-Dewa yang berada di pusat samudera yang membawa inti sarining air hidup (Tirtha Amertha Kamandalu). Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap Dewa-Dewa tersebut.  Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon kehadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Bhuwana Alit (alam manusia) dan Bhuwana Agung (alam semesta). Rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi adalah sebagai berikut :
1.Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti.  Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada"panglong ping 14 sasih kesanga" umat Hindu melaksanakan upacara Butha Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salahg satu dari jenis-jenis "Caru" menurut kemampuannya. Bhuta Yadnya itu masing-masing bernama; Panca Sata (kecil), Panca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar).  Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisudha Bhuta Kala, dan segala 'leteh' (kotor), semoga sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari; nasi manca warna (lima warna) berjumlah 9 tanding/paket, lauk pauknya ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Bhuta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Bhuta Raja, Bhuta Kala dan Bhatara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat.  Setalah mecaru dilanjutkan dengan upacara pengerupukan, yaitu : menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesui, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.
Khusus di Bali, pada pengrupukan ini biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Bhuta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Bhuta Kala dari lingkungan sekitar.  Selanjutnya dilakukan Melasti yaitu menghanyutkan segala leteh (kotor) ke laut, serta menyucikan "pretima". DIlakukan di laut, karena laut (segara) dianggap sebagai sumber Tirtha Amertha (Dewa Ruci, dan Pemuteran Mandaragiri). Selambat-lambatnya pada Tilem sore, pelelastian sudah selesai.
2.Nyepi  Keesoka harinya, yaitu pada "panglong ping 15" (Tilem Kesanga), tibalah Hari Raya Nyepi. Pada hari ini dilakukan puasa/peberatan Nyepi yang disebut Catur Beratha Penyepian dan terdiri dari; amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Beratha ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit.  Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 oton/6 bulan), lambang ini diwujudkan dengan 'matekep guwungan' (ditutup sangkat ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa (Ngeraja Sewala), upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit).  Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam caka/tahun barupun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni.  Yang lebih penting dari dari pada perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), sesuai dengan Lontar Sundari Gama adalah memutihbersihkan hati sanubari, dan itu merupakan keharusan bagi umat Hindu.  Tiap orang berilmu (sang wruhing tatwa dnjana) melaksanakan; Bharata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadhi (menunggal kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi), yang bertujuan kesucian lahir bathin).  Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu, sehingga akan mempunyai kesiapan bathin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan Hari Raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti dirubah.
3.Ngembak Geni (Ngembak Api) 
Terakhir dari perayaan Hari Raya Nyepi adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tangal ping pisan (1) sasih kedasa (X). Pada hari Inilah tahun baru Caka tersebut dimulai. Umat Hindu bersilahturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama), satu sama lain. Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Caka berakhir pada panglong ping limolas (15) sasih kedasa (X), dan tahun barunya dimulai tanggal 1 sasih kedasa (X).
Tradisi Ciuman Masal Di Bali(Omed-omedan)


Puluhan muda-mudi saling mencium dalam acara omed-omedan sebagai bagian tradisi perayaan Nyepi menyambut Tahun Baru Saka 1932 di Bali.
Tradisi unik ini dikemas dalam acara bertajuk Sesetan Heritage Omed-omedan Festival 2010 yang digelar di Banjar Kaja Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan, sore ini.
Menurut Ketua Panitia I Putu Wiranata Jaya, kegiatan ini dimaksudkan untuk melestarikan nilai seni dan budaya juga untuk memupuk kebersamaan. “Kegiatan ini memiliki nilai sakral karena terkait susuhunan di Pura Banjar ujar dia,” Rabu (17/03/2010). Warga setempat secara turun temurun menggelar tradisi ini yang jatuh sehari setelah nyepi atau ngambek geni. Dalam acara ini para muda-mudi berbaris dan berputar putar. Mereka diminta memilih siapa yang disukai. sesaat namun harus melepaskan kembali. Tak jarang karena larut dalm acara tersebut mereka enggan melepaskan pelukan dan ciumannya. Karenanya harus ditarik para pemuda lainnnya sehingga terjadi tarik tarikan. Inilah puncak dan daya tarik tradisi tersebut.
“Kami menolak tudingan negatif seolah olah omed omedan identik dengan ciuman,” tandas Wiranata. Seorang peserta Putu Ayu Puspa (23) dan adiknya Kadek Wandayani, mengaku dua kali ikut acara ini. “Saya awalnya takut tapi orang tua mendorong tampil, lagian tidak mesti dapat cium kok,” katanya tersipu. Acara diawali tarian janger dan penampilan barong dari kesenian warga setempat. Kegiatan ini mendapat sambutan luas ribuan warga Denpasar. Tampak Wali Kota Rai Mantra dan anggota DPD Kadek Arimbawa hadir melihat acara tahunan tersebut.
Tradisi Sakral Upacara Ngaben di Bali


Berbagai upacara dan kegiatan dilakukan oleh warga dan keluarga menjelang berlangsungnya prosesi puncak pelebon (ngaben) anggota keluarga kerajaan Ubud, Tjokorda Gde Agung Suyasa, Tjokorda Gede Raka, dan Desak Raka (Gung Niang Raka) pada Selasa (15/7).
Upacara Ngaben merupakan salah satu tradisi budaya Bali yang sangat dikenal sampai ke manca negara karena keunikannya. Sering pula disebut upacara pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui reinkarnasi.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya. Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, yaitu Pulau Bali.
Upacara ini biasanya ditandai dengan pembuatan bade/wadah (tempat mayat) yang diusung bersama sebuah lembu (sapi) yang terbuat dari rangkaian bambu, dimana lembu ini akan dibakar bersama dengan jasad orang yang meninggal tersebut. Upacara Ngaben diawali dengan berbagai ritual pembuka. Seperti, mebersih, ngringkes, ngajum kajang, mesudi bumi hingga prosesi pembakaran dan nglarung abu ke laut selatan.
Seluruh prosesi ini dilakukan dengan kompak oleh masing-masing keluarga yang mengikuti ngaben tersebut. Ngaben pertama kali ini dilakukan secara simbolis atau ngaben kering. Artinya, umat tidak membongkar setra masing-masing anggota keluarga yang diaben. Ini untuk menghormati anggota keluarga lainnya yang memeluk agama lain.
Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian. Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.
Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan "bade dan lembu" terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.

Tradisi Subak

Subak (organisasi petani bali) merupakan salah satu organisasi tradisional Bali yang memelihara dan mengatur system irigasi pertanian yang sudah ada sejak dulu, seperti yang disebutkan dalam Museum Subak Mandala Mathika di desa Sungulan Tabanan.
Didalam kompleks terdapat ruang pameran, ruang audio visual, ruang belajar, fasilitas penginapan, perpustakaan, kantor dan miniatur sistem irigasi. Museum ini diresmikan mantan Gubernur Bali, Prof Dr Ida Bagus Mantra tanggal 13 Oktober 1981. Berdirinya museum ini digagasi oleh I Gusti Ketut Kaler, pakar adat dan agama yang waktu itu menjabat Kanwil Departemen Agama Propinsi Bali. Ia melihat perlu adanya lembaga adat Subak yang berupaya melestarikan warisan luhur budaya bangsa sejak abad XI ini. Upaya itu akhirnya terwujud. Pada mulanya disebut "Cagar Budaya Museum Subak".Museum ini merupakan museum khusus tentang sistem pertanian di Bali berciri khas kemandirian atas landasan kekal "Tri Hita Krana", tiga penyebab kebahagiaan (Tuhan, manusia dan alam). Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dikhawatirkan akan berpengaruh pula terhadap kehidupan Subak. Untuk itu upaya melestarikan Subak beserta peralatan tradisional Bali termasuk di dalamnya bangunan rumah petani tradisional yang mengikuti aturan pembangunan asta bumi dan asta kosala-kosali, tata ruang, tata letak menurut tradisi masyarakat di Bali perlu digalakkan. Disamping menyelamatkan, menggali, mengamankan dan memelihara berbagai benda yang berkaitan dengan subak dan menyuguhkan berbagai informasi, pendidikan dan dokumentasi tentang Subak, Subak ini ternyata menjadi objek wisata yang menarik.
Museum Subak terdiri dari dua bagian. Ada museum induk dan museum terbuka. Di museum induk ada bangunan atau kompleks suci dengan Padmasana, Bedugul dan lain-lainnya.
Tata ruang dan tata letak bangunan disesuaikan dengan lingkungan sekitarnya dengan tetap berpegang pada pembangunan tradisional : Tri Mandala, Tri Angga dan Asta Kosala Kosali. Sedangkan museum terbuka berwujud "Subak Mini" yang dipakai sebagai peragaan kegiatan subak, dari sistem irigasi hingga proses kegiatan petani di sawah.
Tradisi perkawinan di Bali
Menurut adat Hindu Bali, pernikahan dilakukan di rumah calon pengantin laki-laki pada hari yang dianggap baik oleh pendeta Hindu Bali. Biasanya pengantin baru tinggal bersama keluarga laki-laki dalam satu pekarangan rumah.
Ada dua macam pernikahan, yaitu ‘kawin lari’, dan ‘kawin ngidih’. Kawin lari (cara kuno di Bali bagian Timur), di mana perempuan meninggalkan rumahnya untuk menikah tanpa pengetahuan orangtuanya, sudah agak jarang dilakukan. Cara pernikahan yang umum dilaksanakan dewasa ini adalah kawin ngidih, di mana pihak laki-laki meminta kepada orangtua pihak perempuan.
Kawin lari
Pada hari yang telah disetujui oleh pasangan calon pengantin, laki-laki atau orang lain yang dimintai tolong, menjemput si perempuan dan membawanya ke rumah salah satu kerabat atau temannya untuk disembunyikan paling sedikit selama tiga hari atau sampai orang tua pihak perempuan mengakui bahwa anak gadisnya telah menikah.
Selanjutnya, empat orang mewakili pihak laki-laki untuk menyampaikan pesan kepada orangtua bahwa anak gadisnya telah pergi untuk menikah. Kelian banjar dari pihak keluarga perempuan ikut untuk menyampaikan pesan tersebut. Mereka membawa lampu sebagai simbul penerangan dan surat pernyataan dari calon pasangan pengantin bahwa mereka menikah atas dasar cinta dan tanpa paksaan pihak manapun.
Apabila orangtua si perempuan menerima bahwa anaknya telah dilarikan dan akan menikah dengan laki-laki pilihannya, mereka menentukan kapan wakil dari pihak laki-laki bisa datang kembali ke rumahnya untuk menyelesaikan masalah pernikahan ini. Kawin ngidih
Pada hari yang telah disepakati bersama, keluarga dan kerabat dekat pihak laki-laki datang ke rumah pihak perempuan untuk menyampaikan keinginan mereka untuk menikahkan anak laki-lakinya dengan anak gadis dari pihak perempuan. Kemudian mereka akan menetapkan satu hari untuk mengumpulkan seluruh keluarga dari pihak perempuan dan meminta keluarga laki-laki dan kerabat dekatnya untuk datang kembali untuk melamar dan membicarakan tatalaksana upacara pernikahan. Setelah kesepakatan tercapai, calon pengantin perempuan dibawa ke rumah calon pengantin laki-laki. Pawiwahan (upacara) tiga hari
Setelah tiga hari berada di rumah pihak laki-laki atau persembunyian, calon pengantin baru akan diupacarai dengan sesajen yang dituntun oleh pemangku (pendeta dari keluarga Sudra) untuk mengesahkan perkawinan tersebut secara agama Hindu Bali. Upacara ini hanya dihadiri oleh keluarga dekat pasangan pengantin atau pihak laki-laki saja kalau memakai cara kawin lari.
Pawiwahan di sanggah (pura keluarga)
Pada hari yang telah disepakati dan ditunjuk oleh pendeta Brahmana, upacara yang lebih besar dilaksanakan di sanggah pihak laki-laki. Makna upacara ini adalah untuk menyampaikan kepada para leluhur yang bersemayam di sanggah itu, bahwa ada satu pendatang baru yang akan menjadi anggota keluarga dan akan melanjutkan keturunannya.
Dalam kawin ngidih semua anggota banjar dari pihak laki-laki dan seluruh keluarga besar dari pihak perempuan dan para undangan lainnya menyaksikan upacara ini. Sedangkan dalam kawin lari, keluarga atau kerabat dekat dari pihak perempuan tidak terlibat. Undangannya bisa mencapai ratusan orang.
Upacara ini biasanya dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara mepamit (perpisahan) yang akan dilakukan di sanggah pihak keluarga pengantin perempuan. Makna dari upacara ini adalah untuk minta pamit kepada para leluhur karena sekarang telah menikah dan menjadi milik dan tanggung jawab keluarga laki-laki.
Pada umumnya semua biaya upacara perkawinan ditanggung oleh keluarga pihak laki-laki termasuk untuk upacara Mepamit yang dilakukan di rumah orangtua perempuan. Anggota banjar menyediakan sebagian bahan makanan untuk pesta atau bahan upacara, dan para tamu udangan membawa hadiah untuk pengantin baru.
Musik Seperangkat gamelan Bali

Musik tradisional Bali memiliki kesamaan dengan musik tradisional di banyak daerah lainnya di Indonesia, misalnya dalam penggunaan gamelan dan berbagai alat musik tabuh lainnya. Meskipun demikian, terdapat kekhasan dalam tehnik memainkan dan gubahannya, misalnya dalam bentuk kecak, yaitu sebentuk nyanyian yang konon menirukan suara kera. Demikian pula beragam gamelan yang dimainkan pun memiliki keunikan, misalnya Gamelan Jegog, Gamelan Gong Gede, Gamelan Gambang, Gamelan Selunding, dan Gamelan Semar Pegulingan. Adapula musik Angklung dimainkan untuk upacara ngaben, serta musik Bebonangan dimainkan dalam berbagai upacara lainnya.
Terdapat bentuk modern dari musik tradisional Bali, misalnya Gamelan Gong Kebyar yang merupakan musik tarian yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda, serta Joged Bumbung yang mulai populer di Bali sejak era tahun 1950-an. Umumnya musik Bali merupakan kombinasi dari berbagai alat musik perkusi metal (metalofon), gong, dan perkusi kayu (xilofon). Karena hubungan sosial, politik dan budaya, musik tradisional Bali atau permainan gamelan gaya Bali memberikan pengaruh atau saling mempengaruhi daerah budaya di sekitarnya, misalnya pada musik tradisional masyarakat Banyuwangi serta musik tradisional masyarakat Lombok.
* Gamelan
* Jegog
* Genggong
* Silat Bali
Tari
Seni tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok; yaitu wali atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan untuk upacara dan juga untuk pengunjung, dan balih-balihan atau seni tari untuk hiburan pengunjung.
Pakar seni tari Bali I Made Bandem pada awal tahun 1980-an pernah menggolongkan tari-tarian Bali tersebut; antara lain yang tergolong ke dalam wali misalnya Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan, dan Wayang Wong, sedangkan balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja, Prembon dan Joged, serta berbagai koreografi tari modern lainnya.
Salah satu tarian yang sangat populer bagi para wisatawan ialah Tari Kecak. Sekitar tahun 1930-an, Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies menciptakan tari ini berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak mempopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya. Penari belia sedang menarikan Tari Belibis, koreografi kontemporer karya Ni Luh Suasthi Bandem
Dalam bahasa Bali, kaja berarti ke (arah) gunung dan kelod berarti ke (arah) laut. Dengan demikian untuk orang Bali Utara, kaja berarti selatan, sebaliknya untuk orang Bali Selatan, kaja berarti utara. Begitu juga kelod bagi orang Bali Utara berarti utara dan untuk orang Bali Selatan berarti selatan. Perbedaan ini tidak saja tampak dalam penunjukan arah dalam bahasa Bali, tetapi juga dalam beberapa aspek kesenian dan juga sedikit bahasa. Orang Bali menyebut daerah di bagian utara itu sebagai Den Bukit (kabupaten Buleleng sekarang) dan daerah-daerah di bagian selatan sebagai Bali Tengah (kabupaten Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung). Adapun mengenai arah timur (kangin) sifatnya disamakan dengan arah kaja dan barat (kauh) disamakan dengan kelod. Arah-arah ini sama baik di Bali Utara maupun Selatan.
Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan aturan anatomi tubuh sang empunya pemilik rumah dengan dibantu sang undagi sebagai pedanda atau orang suci yang mempunyai kewenangan membantu membangun rumah atau pura. Dan terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan menempati rumah tersebut. Seperti Musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Depa untuk ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan.
Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak merupakan satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu gunung Agung. Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dan tempat pemujaan keluarga. Untuk memahami hirarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan, timur dan barat.
Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali di sebut pamerajan. Untuk mengetahui pola ruang rumah tradisional Bali maka sebaiknya kita mengenali bagian-bagian ruang pada rumah tinggal tradisional Bali:
1. Angkul-angkul yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya teletak di kauh kelod.
2. Aling-aling adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus kedalam tetapi menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-aling terletak di kaluh kelod.
3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar.
4. Pamerajan ini adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga mempunyai pamerajan yang letaknya di kaja kangin pada sembilan petak pola ruang.
5. Umah Meten yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat yaitu di kaja.
6. Bale tiang sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu yang diletakkan di lokasi kauh.
7. Bale Sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih junior. Bale sakepat biasanya terletak di kelod.
8. Bale Dangin biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. Bale Dangin terletak di lokasi kangin.
9. Paon yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada kangin kelod.
10. Lumbung sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi dan hasil kebun lainnya.
Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan konsep yang dinamakan tri angga, yaitu sebuah konsep hirarki dari mulai nista, madya dan utama.
“Nista” menggambarkan suatu hirarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya diwujudkan dengan pondasi bangunan atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai penyangga bangunan diatasnya. Atau bila dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibuat pada permukaan batu bata atau batu gunung dibuat semacam penghalus sebagai elemen leveling yang rata. Atau merupakan plesteran akhir nista juga digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu.
“Madya” adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia.
“Utama” adalah simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.
Untuk menampilkan kesan tradisional yang kental, gerbang dibuat dari batu candi yang bertekstur kasar, khas gapura di candi-candi Hindu-Buddha Jawa. Sedangkan pintu gerbang di Bali lebih banyak memakai bahan batu bata yang merupakan sisa-sisa peninggalan zaman Majapahit. Keterbatasan bahan batu candi tidak menghalangi kreativitas membuat gerbang berkesan sama dengan bahan tersebut. Bahan yang dipilih lebih disesuaikan dengan bangunan gerbang, baik dari batu candi, batu kali, atau perkerasan beton ekspos koral atau motif lainnya.
Persilangan garis horisontal sumbu bumi dengan garis vertikal religi, menjadi pedoman pembagian tata ruang dalam arsitektur tradisional Bali. Jika persilangan ini diikuti oleh persilangan tiap sudutnya, maka terwujudlah kemudian apa yang disebut Sanga Mandala (sembilan ruang) yang berpusat pada sumbu bumi.
Di sini kemudian terdapat apa yang disebut 1) Angkul-angkul (gapura), 2) Natah (halaman tengah), 3) Sanggah (pura keluarga) letaknya di timur laut) 4) Umah Meten (paviliun untuk kepala keluarga) letaknya di utara, 5) Bale Tiang Sanga (paviliun tamu) letaknya di barat, 6) Bale Sakepat (paviliun untuk anak-anak) di Selatan, 7) Bale Sakenem (bangunan di mana sering dilakukan ritual), 8) Paon (dapur) letaknya di barat daya, dan 9) Jineng (lumbung padi) letak-nya di tenggara.
Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian.
Ditengah-tengah hunian terdapat natah (court garden) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga). Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan-bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka.
Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Hadirnya aling-aling ini, menutup bukaan yang disebabkan oleh adanya pintu masuk. Sehingga dilihat dari dalam hunian, tidak ada perembesan dan penembusan ruang. Keberadaan aling-aling ini memperkuat sifat ruang positip yang ditimbulkan oleh adanya dinding keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai penyengker. Ruang di dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni beraktifitas. Adanya aktifitas dan kegiatan manusia dalam suatu ruang disebut sebagai ruang positip. Penyengker adalah batas antara ruang positip dan ruang negatif.
Fungsi Manifes dan Fungsi Laten Pintu Tradisional Bali
Pintu gerbang dilengkapi dengan dua patung Dwarapala lengkap dengan gadanya sebagai penjaga pintu gerbang untuk menambah kesan “angker” dan mempertegas bukan sembarang orang dapat masuk ke dalam rumah. Tetapi, bisa juga dipilih patung dewi yang terasa lebih manis, cantik, dan eksotik, sekaligus menghilangkan kesan angker gerbang.
Pada bangunan tradisional, sebelum memasuki halaman rumah, kita biasanya melewati pintu gerbang. Dalam pemahaman sederhana, filosofi pintu gerbang dimasukkan sebagai ruang perantara (pembersih diri) sebelum memasuki ruang suci, yakni rumah sebagai kediaman pribadi yang sakral. Sakral, karena rumah hanya dapat dimasuki oleh orang-orang tertentu, tidak sembarang orang dapat keluar masuk ke dalam rumah. Maka pintu gerbang pun dibuat dalam skala manusia, hanya cukup untuk dilalui manusia secara bergantian (budaya antre).
Anak tangga pintu gerbang cenderung dari lebar menyempit naik ke arah pintu utama, kemudian turun melebar kembali. Ini merupakan agar kita bisa lebih hati – hati menaiki tangga dan bisa bergantian dan antri, apalagi yang diterapkan pada pintu masuk angkul – angkul bangunan suci agar kita bias lebih tenang memasuki kawasan suci dan tidak saling mendahului sehingga kita benar – benar bisa sembhayang dengan hening dan khidmat.
Dalam rumah tangga untuk mencapai pintu gerbang pun menandakan sebuah pencapaian hidup, rumah sebagai status sosial, harus melalui tahapan-tahapan yang melelahkan dan membutuhkan kesabaran. Secara filosofi, kesuksesan penghuni rumah tidak bisa diperoleh secara instan (dadakan, jalan pintas, tiba-tiba) untuk mencapai kebahagiaan hidup.
Pada pintu masuk ruang kamar, hampir sama dengan pintu gerbang atau angkul – angkul, kadang sengaja dibuat lebih pendek dan ada undakan kecil pada bagian kaki, ini menandakan bahwa seseorang yang akan memasuki wilayah privat agar berhati – hati dan “menunduk” yang artinya “hormat” pada penghuni rumah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pictures