BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecerdasan senantiasa dikonotasikan dengan kecerdasan intelektual atau yang lazim dikenal sebagai IQ saja (Intelligence Quotient). Namun saat ini, anggapan bahwa kecerdasan manusia hanya tertumpu pada dimensi intelektual saja sudah tidak berlaku lagi. Selain IQ, manusia juga masih memiliki dimensi kecerdasan lainnya, diantaranya yaitu: Kecerdasan Emosional atau EQ (Emotional Quotient) dan Kecerdasan Spiritual atau SQ (Spiritual Quotient).Menurut hasil penelitian, setidaknya 75% kesuksesan manusia lebih ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya (EQ) dan hanya 4% - 20% yang ditentukan oleh kecerdasan intelektualnya (IQ).
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan antara dua orang atau lebih., yang tentunya melibatkan perasaan, emosi, latar belakang budaya, nilai, agama yang dianut. Kecerdasan emosional dan spiritual diharapkan dapat mendukung seseorang untuk melakukan hal yang tepat dalam berkomunikasi sesuai keadaan emosional dan spiritual orang yang bersangkutan dan lawan bicaranya, sehingga orang tersebut dapat berkomunikasi interpersonal secara efektif. Maka dari itu dalam makalah ini akan dibahas hubungan antara kecerdasan emosional dan spiritual dengan komunikasi interpersonal.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud komunikasi interpersonal?
2. Apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual?
3. Bagaimana hubungan antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan komunikasi interpersonal?
C. Tujuan
1. Mengetahui yang dimaksud komunikasi interpersonal.
2. Mengetahui yang dimaksud dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
3. Mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dengan komunikasi interpersonal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk menggunakan emosi secara efektif dalam mengelola diri sendiri dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain secara positif. Menurut Salovey dan Mayer (Trihandini, 2005: hal. 22) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk merasakan emosi, menerima dan membangun emosi dengan baik, memahami emosi dan pengetahuan emosional sehingga dapat meningkatkan perkembangan emosi dan intelektual.
Salovey juga memberikan definisi dasar tentang kecerdasan emosi dalam lima wilayah utama yaitu, kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang kain, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Seorang ahli kecerdasan emosi, Goleman (1997, hal: xiii) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kecerdasan emosi di dalamnya termasuk kemampuan mengontrol diri, memacu, tetap tekun, serta dapat memotivasi diri sendiri. Kecakapan tersebut mencakup pengelolaan bentuk emosi baik yang positif maupun negatif. Selanjutnya ia juga mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapai frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihh-lebihkan kesenangan, menagtur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kmampuan berpikir, berempati dan berdoa.
Patton (Trihandini, 2005: hal. 23) menyampaikan bahwa penggunaan emosi yang efektif akan dapat mencapai tujuan dalam membangun hubungan yang produktif dan meraih keberhasilan kerja. Menurut Howard Gardner dalam Goleman (1997, hal: 50-52), kecerdasan emosi terdiri dari beberapa kecakapan, diantaranya: intrapersonal intelligence dan interpersonal intellegence. Intrapersonal intelligence merupakan kecakapan mengenali perasaan kita sendiri yang terdiri dari: Pertama; kesadaran diri meliputi: keadaan emosi diri, penilaian pribadi dan percaya diri. Kedua; pengaturan diri meliputi: pengendalian diri, dapat dipercaya, waspada adaptif dan inovatif. Ketiga; motivasi meliputi: dorongan berprestasi, komitmen, inisiatif dan optimis. Sedangkan interpersonal intelligence merupakan kecakapan berhubungan dengan orang lain yang terdiri dari: Pertama; empati meliputi: memahami orang lain, pelayanan, mengembangkan orang lain, mengatasi keragaman dan kesadaran politis Kedua; ketrampilan sosial meliputi: pengaruh, komunikasi, kepemimpinan, katalisator perubahan, manajemen konflik, pengikat jaringan, kolaborasi dan koperasi serta kerja team.
B. Kecerdasan Spiritual
Zohar dan Marshal (2001, hal: 4), SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ adalah kecerdasan tertinggi kita. Ia juga menjelaskan lebih lanjut bahwa kecerdasan spiritual sebagai rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan pemahaman dan cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada batasannya, juga memungkinkan kita bergulat dengan hal baik dan jahat, membayangkan yang belum terjadi serta mengangkat kita dari kerendahan. Kecerdasan tersebut menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup sesorang lebih bernilai dan bermakna.
Eckersley (Trihandini, 2005: hal. 26) memberikan pengertian yang lain mengenai kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual didefinisikan sebagai perasaan intuisi yang dalam terhadap keterhubungan dengan dunia luas didalam hidup kita. Berman (Trihandini, 2005: hal. 27) mengungkapkan bahwa kecerdasan spiritual (SQ) dapat memfasilitasi dialog antara pikiran dan emosi, antara jiwa dan tubuh. Dia juga mengatakan bahwa kecerdasan spiritual juga dapat membantu sesorang untuk dapat melakukan transedensi diri. Pengertian lain mengenai kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran integralistik serta berprinsip hanya karena Allah (Agustian, 2009, hal: 57).
Peran SQ adalah sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Seseorang yang memiliki SQ tinggi adalah orang yang memiliki prinsip dan visi yang kuat, mampu memaknai setiap sisi kehidupan serta mampu mengelola dan bertahan dalam kesulitan dan kesakitan. Zohar dan Marshal, (2002, hal: 14) juga mencirikan SQ yang berkembang dengan baik antara lain:
1. Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif spontan dan aktif)
2. Tingkat kesadaran tinggi
3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan.
4. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
5. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu.
6. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpkitangan holistik)
7. Kecenderungan untuk mencari jawaban yang mendasar.
8. Menjadi mandiri.
Ungkapan syair yang dikemukakan oleh Gothe mampu mewakili karakteristik seseorang yang memiliki SQ (Fromm, 1987). Kecerdasan emosional memang membuat orang lebih mudah mencapai sukses dalam hidup: tapi untuk menemukan kebahagiaan dan makna dari kehidupan, diperlukan kecerdasan spiritual.
C. Sistem Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi di antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya di antara dua orang yang dapat langsung diketahui responnya. Dengan bertambahnya orang dalam kegiatan komunikasi, menjadi bertambahlah persepsi orang dalam kejadian komunikasi sehingga bertambah komplekslah komuniaksi tersebut. Jadi komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang bersifat dialogis yang dapat langsung diketahui responnya dan dapat menjalin hubungan interaksi dengan adanya pengertian bersama, empati dan rasa saling menghormati.
Sistem Komunikasi Interpersonal, dalam Rakhmat (2007: 79-129), terdiri dari:
1. Persepsi interpersonal
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi memberikan makna pada stimulus inderawi. Menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi dan memori. Seberapapun sulitnya kita mempersepsi orang lain, kita akan berhasil juga memahami orang lain. Buktinya kita masih dapat bergaul dengan mereka, masih dapat nerkomunikasi dengan mereka, dan masih dapat menduga perilaku mereka. Pengaruh factor situasional pada persepsi interpersonal:
a. Deskripsi verbal, kata yang disebut pertama akan mengarahkan penilaian selanjutnya. Pengaruh kata pertama disebut dengan primacy effect.
b. Petunjuk proksemik, jarak yang dibuat individu ketika berhubungan dnegan orang lain menunjukkan tingkat keakraban di antara mereka.
c. Petunjuk kinesik, petunjuk kinesik didapat dari gerakan tubuh orang lain yang dapat menimbulkan persepsi.
d. Petunjuk wajah, petunjuk awajah juga menimbulkan persepsi yang dapat diandalkan. Wajah merupakan cerminan jiwa.
e. Petunjuk paralinguistic, kita dapat mempersepse sesuatu dari cara bagaimana orang mengucapkan lambing-lambang verbal, meliputi tinggi-rendahnya suara, tempo bicara, dialek, dan interaksi.
f. Petunjuk artifaktual, meliputi segala macam penampilan seperti potongan tubuh, kosmetik, baju, tas, baju, tas, pangkat, dan atribut lainnya.
Pengaruh factor personal pada persepsi interpersonal:
a. Pengalaman, pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi.
b. Motivasi, motiv personal mempengaruhi persepsi interpersonal.
c. Kepribadian.
2. Konsep Diri
Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi, social, dan fisis. Factor yang mempengaruhi konsep diri antara lain adalah:
a. Orang lain, kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Bagaimana kita menilai diri orang lain akan membentuk konsep diri kita.
b. Kelompok rujukan, kita pasti menjadi bagian dari kelompok-kelompok yang ada di masyarakat, setiap kelompok pasti mempunyai norma yang akan membentuk konsep diri kita.
Pengaruh konsep diri terhadap komunikasi interpersonal
a. Nubuat yang dipenuhi sendiri, kecenderungan untuk bertingkah laku sesuai dengan konsep diri disebut sebagai nubuat yang dipenuhi sendiri.
b. Membuka diri, pengetahuan tentang diri akan meningkatkan komunikasi, pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan pengetahuan tentang diri kita.
c. Percaya diri, orang yang merasa dirinya negative cenderung akan kurang percaya diri, sedangkan orang yang konsep dirinya positif akan mempunyai tingkat percaya diri yang tinggi.
d. Selektivitas, konsep diri mempengaruhi komunikasi kita karena konsep diri mempengaruhi kepada pesan apa kita bersedia membuka diri, bagaimana kita mempersepsi pesan itu, dan apa yang kita ingat. Konsep diri menyebabkan terpaan selektif, persepsi selektif, dan ingatan selektif.
3. Atraksi interpersonal, adalah kesukaan pada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang. Factor-faktor personal yang mempengaruhiatraksi interpersonal antara lain:
a. Kesamaan karakteristik ineterpersonal, orang-orang yang mempunyai kesamaan dalam nilai-nilai, sikap, keyakinan, tingkat sosioekonomis, agama, ideologys, cenderung saling menyukai.
b. Tekanan emosional, bila orang berada dalam keadaan yang mencemaskan, ia akan cenderung membutuhkan kehadiran orang lain.
c. Harga diri yang rendah, bila harga diri direndahakan, hasrat afiliasi bergabung dengan orang lain akan lebih tinggi, dan ia makin responsive untuk menerima kasih saying orang lain.
d. Isolasi social, tingkat isolasi social amat besar pengaruhnya terhadap kesukaan kita terhadap orang lain.
Factor-faktor situasional yang mempengaruhi atraksi interpersonal:
a. Dayatarik fisik, daya tarik fisik sering menjadi penyebab utama atraksi interpersonal.
b. Ganjaran, kita menyenangi orang lain yang memberikan ganjaran pada kita, kita akan meneruskan interaksi jika kita mendapatkan keuntungan psikologis maupun ekonomis./
c. Familiarity, yang artinya kenal dengan baik. Jika kita sering berjumpa dengan orang lain asal tidak ada hal-hal lain, kita akan menyukainya.
d. Kedekatan, familiarity erat kaitannya dengan kedekatan. Orang cenderung menyenangi mereka yang lokasinya berdekatan mereka.
e. Kemampuan, kita cenderung menyenangi orang-orang yang memiliki kemampuan lebih tinggi daripada kita, atau lebih berhasil dalam kehidupannya.
Pengaruh atraksi interpersonal pada komunikasi interpersonal
a. Penafsiran pesan dan penilaian, sudah diketahui pendapat dan penilaian kita tentnag orang lain tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan rasional, tapi juga pertimbangan emosional. Ketika kita menyenangi seseorang, kita juga cenderung melihat segala hal yang berkaitand negan dia secara positif.
b. Efektivitas komunikasi, komunikasi interpersonal dinyatakan efektif bila pertemuan komunikasi merupakan hal yang menyenangkan bagi komunikan
4. Hubungan interpersonal, komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik. Factor-faktor yang menumbuhkan hubungan interpersonal dalam komunikasi interpersonal antara lain trust, empati, kejujuran, sikap suportif, dan sikap terbuka.
D. Hubungan Kecerdasan Emosional dan Spiritual terhadap Komunikasi Interpersonal
Dalam berkomunikasi kita pasti melibatkan perasaaan atau emosi. Terlebih komunikasi interpersonal yang bersifat tatap muka dan dialogis memungkinkan kita untuk membaca emosi orang lain, kemudian memberikan respon terhadap emosi mereka.
Dalam system komunikasi interpersonal yang diungkap oleh Jalaludin Rakhmat banyak sekali komponen kecerdasan emosi yang berperan dalam komunikasi interpersonal, antara lain yaitua ada faktor-faktor personal yang mempengaruhi komunikasi salah satunya adalah sikap, emosi, kepercayaan, kebiasaan dan kemauan, motivasi, kepribadian, konsep diri, orang lain, membuka diri, percaya diri, tekanan emosional, harga diri, isolasi social, dll.
Dengan kepemilikan kecerdasan emosional kita akan mampu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan. Sehinga kita akan lebih dapat meminimalisir resiko terjadi konflik. Apa yang kita katakan akan lebih sedikit menyinggung orang lain. Orang yang memiliki kecerdasan emosional juga akan menjadi lebih adaptif terhadap berbagai situasi sehingga ia akan lebih mudah dalam berkomunikasi dengan berbagai keadaaan sulit, perbedaan budaya, ideologi, dll.
Kecerdasan spiritual juga sangat membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain. Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual akan senang berbuat baik, senang menolong orang lain, telah menemukan tujuan hidupnya, dia merasa memikul sebuah misi yang mulia, dia merasa terhubung dengan sumber kekuatan di alam semesta, dia merasa dilihat oleh Tuhan dan punya sense of humor yang baik. Ia akan menjadi orang yang tidak sombong, semua yang ia lakukan ia usahakan agar senantiasa bermanfaat dengan orang lain dan tidak merugikan orang lain. Orang yang telah memiliki kecerdasan spritual tinggi sudah melepaskan segala kepentingan duniawi, karena dia sudah merasa segala harta yang dimiliki hanya untuk sementara dan merupakan titipan. Orang seperti ini mampu berkomunikasi dengan orang dengan lebih baik karena orang seperti ini memiliki kebijakan dan mampu memandang segala masalah dari berbagai sudut.
Orang yang cerdas secara spiritual tidak memecahkan persoalan hidup hanya secara rasional atau emosional saja. Ia menghubungkannya dengan makna kehidupan secara spiritual yaitu melakukan hubungan dengan pengatur kehidupan. Seorang yang tinggi SQ-nya cenderung menjadi menjadi seorang pemimpin yang pandai berkomunikasi yang penuh pengabdian, yaitu seorang yang bertanggung jawab untuk membawakan visi dan nilai yang lebih tinggi terhadap orang lain, ia dapat memberikan inspirasi terhadap orang lain.
SQ yang berkembang dengan baik dapat menjadikan seseorang memiliki makna dalam hidupnya. Dengan makna hidup ini seseorang akan memiliki kualitas menjadi, yaitu suatu modus eksistensi yang dapat membuat seseorang merasa gembira, menggunakan kemampuannya secara produktif dan dapat menyatu dengan dunia.
Dalam Zohar dan Marshall (2002, hal: 5), perbedaan penting antara SQ dan EQ terletak pada daya ubahnya. Kecerdasan emosional memungkinkan kita untuk memutuskan dalam situasi apa kita berada lalu bersikap secara tepat didalamnya. Ini berarti bekerja di dalam batasan situasi dan membiarkan situasi tersebut mengarahkan kita. Akan tetapi kecerdasan spitritual memungkinkan apakah kita ingin berada pada situasi tersebut. Apakah kita lebih suka mengubah situasi tersebut dan memperbaikinya. Ini berarti bekerja dengan batasan situasi kita, yang memungkinkan kita untuk mengarahkan situasi itu. SQ menjadikan kita makhluk yang benar-benar utuh secara intelektual, emosional, dan spiritual.
E. Cara Meningkatkan Kecerdasan Emosional
Beberapa yang juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kecerdasan emosional menurut Mocendink, yaitu:
1. Mengenali emosi diri: kemampuan kita untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya kita rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul dalam pikiran, kita harus dapat menangkap pesan apa yang ingin disampaikan.
2. Melepaskan emosi negatif, kemampuan untuk memahami dampak dari emosi negatif terhadap diri kita dan melepaskan emosi negatif melalui teknik pendayagunaan pikiran bawah sadar sehingga kita maupun orang-orang di sekitar kita tidak menerima dampak negatif dari emosi negatif yang muncul.
3. Mengelola emosi diri sendiri, jangan pernah menganggap emosi itu baik atau buruk. Emosi sekedar sinyal bagi kita untuk melakukan tindakan untuk mengatasi penyebab munculnya perasaan itu. Jadi emosi adalah awal bukan hasil akhir dari kejadian atau peristiwa. Kemampuan kita untuk mengendalikan dan mengelola emosi dapat membantu kita mencapai kesuksesan. Beberapa langkah dalam mengelola emosi diri sendiri, yaitu: Pertama adalah menghargai emosi dan menyadari dukungan kepada kita. Kedua berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi, dan meyakini bahwa kita pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya. Ketiga adalah dengan bergembira kita mengambil tindakan untuk menanganinya. Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk pengendalian diri yang paling penting dalam manajemen diri, karena kitalah sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan sebaliknya.
4. Memotivasi diri sendiri, menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Ketrampilan memotivasi diri memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki ketrampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
5. Mengenali emosi orang lain, mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif.
6. Mengelola emosi orang lain, jika keterempilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antar pribadi, maka ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain. Semua hubungan sebagian besar dibangun atas dasar emosi yang muncul dari interaksi antar manusia. Ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita dapat mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antar pribadi yang kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia industri hubungan antar korporasi atau organisasi sebenarnya dibangun atas hubungan antar individu. Semakin tinggi kemampuan individu dalam organisasi untuk mengelola emosi orang lain.
7. Memotivasi orang lain, ketrampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain. Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang tangguh dan kita.
F. Cara Meningkatkan Kecerdasan Spiritual
Tujuh langkah menuju kecerdasan spiritual lebih tinggi:
1. Menyadari di mana saya sekarang.
2. Merasakan dengan kuat bahwa saya ingin berubah.
3. Merenungkan apakah pusat saya sendiri dan apakah motivasi saya yang paling dalam.
4. Menemukan dan mengatasi rintangan.
5. Menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju.
6. Menetapkan hati saya pada sebuah jalan.
7. Tetap menyadari bahwa ada banyak jalan.
Melatih kecerdasan spiritual:
1. Mengenali motif kita yang paling dalam. Motif kita adalah energi jiwa yang sangat besar. Motif menggerakkan potensi dari pusat diri menuju permukaan atau lapisan ego. Motif mendalam menyangkut kesukaan hidup berkelompok, kedekatan, penjelajahan, pengembangan, peneguhan diri, dan kreativitas mendorong sebagian besar diantara kita pada lapisan tak sadar. Namun hal yang paling penting lagi adalah motiv utama dari pusat diri kita ialah motif mencapai keutuhan dan integritas, motif menjalanai perkembangan dan perubahan di sepanjang hidup kita.
2. Kesadaran diri yang tinggi. Kesadaran diri adalah salah satu kriteria tertinggi dari kecerdasarn spiritual yang tinggi, namun merupakan prioritas terendah dalam kebudayaan kita yang bodoh secara spiritual. Mengembangkan kesadaran diri yang lebih besar merupakan prioritas utama untuk meningkatkan SQ. Bagian terpenting dari kesadaran diri mencakup usaha untuk mengetahui batas wilayah yang nyaman dari setiap individu.
3. Tanggapan terhadap diri yang dalam. Diri yang dalam yang hidup didalam tubuh kita masing-masing, berlabuh pada kosmos secara keseluruhan dan tinggal bersama kebutuhan manusia untuk menghidupkan makna, visi dan nilai. SQ menuntut kita menganbdi kepada diri yang dalam itu juga dengan penuh kesadaran.
4. Kemampuan untuk memanfaatkan dan mengatasi kesulitan. Langkah pertama menuju kecerdasan spiritual dalam konteks ini adalah mengambilkembali tanggung jawab atas kehidupan kita. Dalam Man’s Search for Meaning, Viktor Frankl mengemukakan bahwa kemampuan kita dan mengatasi rasa sakit merupakan salah satu kebebasan besar yang diberikan kepada kita semua. Kita daay menganggap rasa sakit, penderitaan atau kesulitan sebagai suatu yang mengancam atau melumpuhkan, tetapi kita juga dapat menganggapnya sebagai tantanagan dan bahkan sebagai peluang.
5. Berdiri menentang orang banyak. Salah satu kriteria utama bagi kecerdasan spiritual yang tinggi adalah menjadi apa yang disebut para psikologi “mandiri di lapangan”. Itu berarti mampu berdiri menentang orang banyak, berpegang pada pendapat yang tidak populer jika itu memang benar-benar diyakininya.
6. Keengganan untuk menyebabkan kerusakan. Seseorang yang tinggi SQ-nya mengetahui bahwa ketika dia merugikan orang lain, dia merugikan dirinya sendiri. Ketika saya secara egois atau tidak semestiya menyebabkan penderitaan orang lain, penderitaan itu kembali sebagai rasa sakit kepada diri sendiri. SQ tinggi menuntut memanfaatkan spontanitas yang mendalam untuk menanggapi semua orang lain dan semua eksistensi, dan untuk menagmbil tanggung jawab atas perananan dalam memelihara semua hal.
7. Menjadi cerdas secara spritual dalam agama. Orang yang sangat religius bisa jadi bodoh secara spiritual, secara atheis yang keras dan kaku bisa jadi cerdas secara spiritual. Namun, tantangan mencapai kecerdasan spiritual yang tinggi sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Kebanyakan diantara kita membutuhkan semacam kerangka keagamaan sebagai panduan untuk menjalani kehidupan kita.
8. Menjadi cerdas secara spiritual mengenai kematian. Kehidupan dan kematian semuanya merupakan bagian proses siklus energi yang timbul dari hampa kuantum, yang dalam waktu singkat mengambil suatu bentuk dan kemudian larut kembali kedalam kehampaan lagi. Kematian hanyalah bgian yang penting dan alamiah dari perubahan energi yang terus-menerus, yaitu kehidupan yang selalu dilihat tanpa rasa takut dalam musim-musim yang terus berubah.
9. Training. Menurut DR Jalaluddin Rakhmat, mengikuti training bisa saja membantu mempengaruhi kecerdasan spiritual selama konsepnya benar. Keberhasilan seseorang belajar lewat training dapat dilihat jika setelah mengikuti training hidupnya berubah menjadi positif yang tadinya depresi atau menderita kecemasan, ketakutan pada masa depan, kebingungan, lalu menjadi bahagia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan kepemilikan kecerdasan emosional kita akan mampu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan. Sehinga kita akan lebih dapat meminimalisir resiko terjadi konflik. Apa yang kita katakan akan lebih sedikit menyinggung orang lain. Orang yang memiliki kecerdasan emosional juga akan menjadi lebih adaptif terhadap berbagai situasi sehingga ia akan lebih mudah dalam berkomunikasi dengan berbagai keadaaan sulit, perbedaan budaya, ideologi, dll.
Kecerdasan spiritual juga sangat membantu kita dalam berkomunikasi dengan orang lain. Orang yang mempunyai kecerdasan spiritual akan senang berbuat baik, senang menolong orang lain, telah menemukan tujuan hidupnya, dia merasa memikul sebuah misi yang mulia, dia merasa terhubung dengan sumber kekuatan di alam semesta, dia merasa dilihat oleh Tuhan dan punya sense of humor yang baik. Ia akan menjadi orang yang tidak sombong, semua yang ia lakukan ia usahakan agar senantiasa bermanfaat dengan orang lain dan tidak merugikan orang lain. Orang yang telah memiliki kecerdasan spritual tinggi sudah melepaskan segala kepentingan duniawi, karena dia sudah merasa segala harta yang dimiliki hanya untuk sementara dan merupakan titipan. Orang seperti ini mampu berkomunikasi dengan orang dengan lebih baik karena orang seperti ini memiliki kebijakan dan mampu memandang segala masalah dari berbagai sudut.
DAFTAR PUSTAKA
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Intelligence, Kecerdasan Emotional, Mengapa EI lebih penting daripada IQ. Jakarta: Gramedia.
Rakhmat, Jalaludin. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya.
Zohar, Danah, dan Ian Marshal. 2002. SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik dalam Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan.
Agustian, Ary Ginanjar. 2009. ESQ, Emotional Spiritual Quotient. Jakarta: Arga.
Trihandini, Fabiola Meirnayati. 2005. Analisis Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosi dan Kecerdasan Spiritual terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus di Hotel Horison Semarang, Program Studi Magister ManajemenProgram Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar