BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Dataran Tinggi Dieng merupakan bagian dari gugusan Pegunungan Serayu, berketinggian 2.000 mdpl, dan secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.[1] Dataran tinggi ini memiliki iklim yang menarik, banyak kalangan yang mengatakan, jika belum mampu bepergian ke luar negeri, maka datanglah ke Dieng, karena kita akan merasakan hawa sejuk dan dingin dengan suhu berkisar 10-17° C bahkan dapat mencapai di bawah 0° C pada bulan Juli-Agustus.
Dataran tinggi ini dikenal karena memiliki landscape alam pegunungan yang indah dengan warisan sejarah berupa tinggalan Siwaistik dari belasan abad silam. Peninggalan tersebut berupa delapan buah candi, yaitu Candi Arjuna, Semar, Srikandi, Puntadewa, Sembadra, Dwarawati, Bhima, dan Gatotkaca. Selain itu masih dijumpai beberapa struktur bangunan yang diduga sebagai tempat tinggal para biksu, petirtaan, serta saluran air (tuk bimo lukar) dan jalan kuna (ondho budho). Warisan budaya di Dataran Tinggi Dieng sudah lama dikelola, baik segi pelestarian maupun pemanfaatan untuk pariwisata.
Keadaan geografis Dieng juga menawarkan banyak potensi lain, seperti lahan pertanian yang cocok untuk sayur-sayuran yang kemudian menjadi komoditas perekonomian utama di Dieng. Keuntungan ekonomis lain juga datang dari pengelolaan kawasan Dieng, baik sebagai situs bersejarah maupun objek wisata (kawah dan telaga), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB), pabrik pengalengan jamur dan carica. Sejalan dengan hal-hal di atas, laporan ini mencoba memahami potensi sebenarnya dari Dataran Tinggi Dieng, baik aspek geografis, sejarah, dan ekonomi.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas pada laporan KKL 1 ini adalah:
1. Bagaimana kondisi geografis di Dieng?
2. Bagaimana kondisi historis di Dieng?
3. Bagaimana kondisi ekonomi di Dieng?
4. Nilai-nilai apa saja yang dapat diambil dari kondisi geografis, historis, ekonomi di Dieng?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan laporan KKL 1 ini adalah:
1. Mengetahui potensi yang ada dari kondisi geografis di Dieng.
2. Mengetahui potensi yang ada dari kondisi historis di Dieng.
3. Mengetahui potensi yang ada dari kondisi ekonomi di Dieng.
4. Mengetahui nilai-nilai apa saja yang dapat diambil dari kondisi geografis, historis, dan ekonomi di Dieng.
BAB II
A. Terbentuknya Dataran Tinggi Dieng
Dataran Tinggi Dieng merupakan dataran tinggi yang tertinggi kedua di dunia setelah Nepal , dan yang terluas di Pulau Jawa. Dieng terletak pada posisi geografis 7,11°-7,13° Lintang Selatan dan 109,54° Bujur Timur, berada pada ketinggian 6.802 kaki atau 2.093 m dpl. Secara administratif kawasan Dieng terbagi menjadai dua kawasan yaitu, Kawasan Dieng Kulon (Dieng Barat) yang terletak di Kabupaten Banjarnegara dan Kawasan Dieng Wetan (Dieng Timur) yang terletak di wilayah Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah.
Dataran Tinggi Dieng adalah kawasan vulkanik yang terbentuk bertahap sejak masa kuarter, 2 juta tahun yang lalu. Tahap awalnya, aktivitas erupsi vulkanik membentuk kawah dan pegunungan. Tahap kedua, sebagian kawah tidak aktif lagi dan menjadi kantong-kantong air hujan di dataran di antara pegunungan. Tahap ketiga, kegiatan vulkanik di dalam bumi masih terus berlangsung dan pengaruh larutan hidrotermal menyebabkan terjadinya mata air panas dan kawah-kawah baru, proses ini berlangsung sampai sekarang.
Dataran Tinggi Dieng merupakan sebuah plateu yang terjadi karena letusan dasyat sebuah gunung berapi. Dengan demikian kondisi geologisnya sampai sekarang masih relatif labil bahkan sering terjadi gerakan-gerakan tanah. Beberapa bukti menunjukkan peristiwa hilangnya Desa Legetan, terpotongnya jalan antara Banjarnegara Karangkobar dan Sukoharjo Ngadirejo maupun retakan-retakan tanah yang mengeluarkan gas beracun seperti peristiwa Sinila. [3]
Kawasan Dataran Tinggi Dieng merupakan sebuah kompleks gunung berapi dengan kerucut-kerucutnya terdiri dari Bisma, Seroja, Binem, Pangonan Merdada, Pagerkandang, Telogo Dringo, Pakuwaja, Kendil, Kunir dan Prambanan. Lapangan fumarola terdiri atas Kawah Sikidang, kawah Kumbang, kawah Sibanteng, Kawah Upas, Telogo Terus, Kawah Pagerkandang, Kawah Sipandu, Kawah Siglagah dan Kawah Sileri.
B. Pengaruh Kondisi Geografi bagi Potensi Dieng
Kondisi geografis di Dieng menimbulkan banyak potensi, yang meliputi potensi wisata (kawah, puncak-puncak, danau vulkanik, gua, sumber mata air, dan objek wisata lain), pertanian dan pembangkit listrik tenaga panas bumi.
1. Potensi Wisata di Dieng
a. Kawah-kawah
1) Candradimuka, Kawah Candradimuka bukan merupakan kawah gunung berapi, melainkan pemunculan solfatar dari rekahan tanah. Terdapat dua lubang pengeluaran solfatar yang masih aktif, salah satunya mengeluarkan solfatar terus menerus sedangkan yang lain secara berkala.
2) Sibanteng, terletak di Desa Dieng Kulon. Kawah ini pernah meletus freatik[4] pada 15 Januari 2009, menyebabkan kawasan wisata Dieng harus ditutup beberapa hari untuk mengantisipasi terjadinya bencana keracunan gas. Letusan lumpurnya terdengar hingga 2 km, merusak hutan milik Perhutani di sekitarnya, dan menyebabkan longsor yang membendung Kali Putih, anak Sungai Serayu. Sebelumnya Kawah Sibanteng meletus pada bulan Juli 2003.
3) Sikidang, kawah di DTD yang paling populer dikunjungi wisatawan karena paling mudah dicapai. Kawah ini terkenal karena lubang keluarnya gas selalu berpindah-pindah di dalam suatu kawasan luas. Kawah ini adalah kawah vulkanik dengan lubang kepundan berada di daerah dataran sehingga kawah dapat disaksikan langsung dari bibir kawah. Sampai saat ini kawah Sikidang masih aktif mengeluarkan uap panas sehingga air kawah mendidih dan bergejolak. Bau khas pegunungan berapi, kepulan asap putih selalu menghiasi penampilan kawah ini. Uap panas yang keluar disertai semburan air yang mendidih berwarna kelabu selalu muncul berpindah-pindah dan berlompat-lompat dari satu tempat ke tempat lain seperti seekor Kidang, sehingga dinamai Kawah Sikidang. [5]
4) Sileri, kawah yang paling aktif dan pernah meletus beberapa kali (catatan yang ada 1944, 1964, 1984, dan Juli 2003). Pada aktivitas freatik terakhir (26 September 2009) muncul tiga katup kawah yang baru disertai dengan pancaran material setinggi 200 meter. Kawah terluas di kawasan Wisata Dataran Tinggi Dieng yang masih aktif, dengan permukaan airnya yang terus-menerus mengepulkan asap putih dan menunjukkan gejala vulkanis. Kawah Sileri berwarna kelabu kental seperti leri, sehingga dinamakan kawah Sileri, lingkungan ini masih sangat alami dengan latar belakang pegunungan yang hijau.
5) Sinila, berpotensi gas beracun. Sinila terletak di Desa Dieng Wetan. Kawah Sinila pernah meletus pada pagi hari tahun 1979, tepatnya 20 Februari 1979. Gempa yang ditimbulkan membuat warga berlarian ke luar rumah, namun kemudian terperangkap gas yang keluar dari Kawah Timbang akibat terpicu letusan Sinila. Sejumlah warga (149 jiwa) dan ternak tewas keracunan gas karbondioksida yang terlepas dan menyebar ke wilayah pemukiman.
b. Puncak-puncak
1) Gunung Prahu (2.565 m).
2) Gunung Pakuwaja (2.395 m).
3) Gunung Sikunir (2.263 m), tempat wisata, dekat Sembungan.
c. Danau vulkanik
1) Telaga Cebong, dekat desa wisata Sembungan. Telaga ini merupakan cekungan dikelilingi oleh perbukitan. Air tanah bukit bukit itu mengisi cekungan tersebut. Air telaga digunakan untuk keperluan sehari hari oleh penduduk Sembungan.
2) Telaga Merdada, dahulu merupakan kepundan (kawah gunung berapi yang kemudian terisi air hujan) air dari telaga itu dapat dipergunakan untuk kebutuhanpencluduk Desa Karang Tengah.
3) Telaga Dringo, nama Dringo didapat dari tumbuhnya dringo di sekeliling telaga tanpa ditanam orang. Telaga itu juga merupakan bekas kawahyang meletus pada tahun 1786.
4) Telaga Sewiwi, telaga ini bukan merupakan bekas kawah melainkan pemunculan air tanah dari bukit bukit sekitarnya ditambah air hujan, sehingga terjadilah telaga.
5) Telaga Balekambang, terletak di Kompleks Candi Pendowo, untuk menghindari bahaya banjir yang dapat merusak candi candi, penduduk membuat saluran pembuangan air kesungaiDolok. Saluran tersebut diberi nama Gangsiran Aswatama.
6) Telaga Warna dan Telaga Pengilon. Kedua telaga ini dulu merupakan satu telaga saja, karena terbendungnya Sungai Tulis oleh lava, maka telaga tersebut terpisahkan menjadi dua sampai sekarang.
d. Obyek wisata lain:
1) Kompleks candi-candi Hindu yang dibangun pada abad ke-7, antara lain: Candi Gatotkaca, Candi Bima, Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Sembadra, Candi Srikandi, Candi Setyaki, Gangsiran Aswatama, dan Candi Dwarawati.
2) Gua: Gua Semar, Gua Jaran, Gua Sumur. Terletak di antara Telaga Warna dan Telaga Pengilon, sering digunakan sebagai tempat olah spiritual.
3) Air Terjun Sikarim, memiliki ketinggian 80 meter dengan latar belakang bukit yang menjulang dan banyak ditumbuhi perdu dan tanaman langka. Terletak di desa Mlandi Kecamatan Garung 20 km sebelah utara kota Wonosobo.
4) Sumur Jalatunda, bekas kawah yang terisi oleh air, bentuknya bulat seperti sumur. Sumur tersebut kerap kali meminta korban manusia yang masuk ke dalamnya tanpa bisa diambil karena terialu dalam. Pendudluk setempat percaya bahwa tempat tersebut didiami oleh makhiukhalus. Percaya atau tidak, adaanggapan bahwa siapa yang berhasil melempar batu dari tepi barat ke timur akan tercapai segala keinginannya.
5) Dieng Plateau Theater, teater untuk melihat film tentang kegunungapian di Dieng.
6) Museum Dieng Kailasa, menyimpan artefak dan memberikan informasi tentang alam (geologi, flora-fauna), masyarakat Dieng (keseharian, pertanian, kepercayaan, kesenian) serta warisan arkeologi dari Dieng. Memiliki teater untuk melihat film (saat ini tentang arkeologi Dieng), panggung terbuka di atas atap museum, serta restoran.
7) Tuk Bima Lukar (Tuk = mata air). Berbentuk sebuah pancuran dari mata air Sungai Serayu. Penduduk sekitar memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari seperti: mandi, mencuci clan air minum. Tempat ini dikeramatkan dan menurut cerita, bagi mereka yang ingin awet muda, dapat mencoba untuk mandi disana.[6]
2. Potensi lahan pertanian di Dieng
Kawasan Dataran Tingigi Dieng memiliki keanekaragaman flora yang selama ini dimanfaatkan oleh masyarakat secara tradisional maupun diolah oleh industri, beberapa yang sudah dikenal adalah Carica dan Jamur Merang. Flora di Dieng dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kelompok Pohon-pohonan:
1) Pakis Haji
2) Wrakas
3) Kayu Dampul
4) Akasia
5) Puspa
6) Asang
7) Cemara
8) Pinus
9) Carica
b. Kelompok Semak Belukar:
1) Glagak
2) Kirinyuh
3) Pring Anpal Gading
4) Kenatus
5) Pakis Jebul
6) Lumbung
7) Asem-aseman
8) Andan-andanan
9) Serunen
10) Racunan
11) Pringgoda-ni
c. Tumbuhan Tanah:
1) Kumis Kucing
2) Rendeng
3) Gandapura
4) Pancal Kandag
5) Andon Jarum
6) Jumpang Putih
7) Campean
8) Jumpang Sindep
9) Sendakan
10) Kenthang
11) Jamur Merang
d. Tumbuhan Air:
1) Endong
2) Engong Wlingi
3) Ganggang
4) Lumut
5) Lempuyang
6) Karisan Cyperus
7) Bretekan
8) Kehingan
e. Tumbuhan obat
1) Purwoceng
2) Pyrethrum
3) Jarak
4) Gandum
5) Jagung
6) Kayu Putih
7) Gondopuro
8) Pernacery
9) Tengsek
10) Cemeti
3. Potensi panas bumi di Dieng
Sumber Panas Bumi Dieng ditetapkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi tertanggal 20 Agustus 1974 sebagai wilayah kerja VI Panas Bumi bagi Pertamina. Meliputi areal seluas 107.351.9995 Ha, yang dikelola oleh PT Geo Dipa Energi.[7]
BAB III
Kondisi Histori Dataran Tinggi Dieng
A. Keterkaitan Dieng dengan Kerajaan Mataran Kuno
Menurut Prasasti Canggal (732 M), Raja Sanjaya adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Sanjaya. Raja Sanjaya memerintah dengan sangat adil dan bijaksana, sehingga rakyatnya terjamin aman dan tentram. Di dalam masalah keagamaan, Raja Sanjaya mendatangkan pendeta-pendeta Hindu beraliran Siwa. Dari para pendeta itu, Raja dapat memperdalam agama Hindu Siwa. Pemujaan yang tertinggi di Kerajaan Mataram Kuno diberikan kepada Dewa Siwa yang dianggap sebagai Dewa tertinggi. Untuk memuja Dewa itu, didirikanlah candi-candi.[8]
Keturunan Raja Sanjaya tetap beragama Hindu dengan wilayah kekuasaan meliputi Jawa Tengah bagian utara. Mereka mendirikan candi-candi Hindu di Dataran tinggi Dieng dengan masa pembangunannya berkisar tahun 778-850 M. Di Dataran Tinggi Dieng dapat dijumpai perkomplekan candi yang banyak jumlahnya. Penamaan candi diambil dari nama wayang yang bersumber dari cerita Baratayuda seperti Candi Puntadewa, Candi Bima, Candi Arjuna, Candi Gatutkaca dan sebagainya.
Letak bangunan terpencar di beberapa tempat, sebagian ada yang mengelompok dan sebagian lain berdiri sendiri. Kelompok candi yang mengelompok yaitu komplek Percandian Arjuna yang berderet dari utara ke selatan, mulai dari Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa dan Candi Sembadra. Di depan Candi Arjuna terdapat Candi Semar. Bangunan candi yang berdiri sendiri misalnya Candi Bima, Candi Gatutkaca, Candi Dwarawatik, Candi Parikesit, Candi Sentyaki, Candi Ontorejo, Candi Samba, Candi Nangkula, Candi Sadewa, Candi Gareng, Candi Petruk dan Candi Bagong. Di antara keseluruhan candi di Komplek Percandian Dieng tersebut, terdapat tiga candi yang kini keadaannya masih relatif utuh yaitu Candi Bima, Candi Arjuna dan Candi Gatutkaca.
Periode pembangunan sebuah candi dapat dilihat dari berbagai sisi. Ketika penanggalan harfiah atau simbolik yang menunjukkan angka tahun tidak ditemukan, maka perhatian terhadap komponen bangunan menjadi alternatifnya. Komponen bangunan seperti cara penempatan tangga, kaki, jumlah relung, denah bangunan, seringkali mengarah pada gaya arsitektur masa tertentu. Selain itu, ornamen candi juga dapat menjadi petunjuk, seperti yang dilakukan EB Vogler. Ia mengelompokkan pendirian candi-candi di Jawa Tengah berdasarkan perkembangan bentuk kala makara. Kala makara merupakan penghias pintu gerbang dan relung-relung candi yang juga berfungsi sebagai ”penjaga”.
B. Candi Dieng sebagai Candi Hindu
Pada Kerajaan yang mendapat pengaruh Agama Hindu, kata Candi berasal dari kata candika yaitu salah satu nama dari Dewi Durga (Dewi Maut). Disamping itu kata candi juga berasal dari kata cinandi yang berarti makam. Untuk memuliakan orang yang sudah wafat. Di candi Dieng yang dikuburkan bukan mayat, namun potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik (pripih)-dianggap sebagai lambang zat-zat jasmaniah dari sang raja yang telah bersatu kembali dengan dewa penitisnya. Dari prasasti batu yang ditemukan, menyebutkan angka tahun 731 saka (809 Masehi) dan 1210 Masehi, dari informasi ini dapat digunakan sebagai petunjuk bahwa tempat suci Agama Hindu digunakan kurang lebih 4 abad, (Badrika, 2006 : 52-53).[9] Ciri candi Hindu yang terdapat pada Candi di Dieng adalah:[10]
1. Komplek Candi Dieng dibangun pada masa agama Hindu, dengan peninggalan Arca Dewa Siwa, Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya bercirikan Agama Hindu. Dari sisi arsitektur candi-candi di komplek agak berbeda dibandingkan dengan candi-candi umumnya di Pulau Jawa, terutama candi Bima. Bentuk bagian atas candi Bima merupakan perpaduan gaya arsitektur India Utara dan India Selatan. Gaya arsitek India Utara nampak pada bagian atas yang disebut dengan Sikhara, sedangkan arsitektur India Selatan terlihat adanya hiasan Kudu yaitu hiasan kepala-kepala dewa yang seolah melongok keluar dari bilik jendela. Di India, kudu tidak hanya diisi wajah Dewa, tetapi juga wajah raksasa, disebut kirtimukha, berfungsi sebagai penolak bala. Candi Bima dan Arjuna termasuk candi tua, dibangun abad VII-VIII. Tampak bahwa pengaruh Indianya masih kental. Bentuk Candi Bima mirip dengan Candi Bhubaneswar di India, yang dikatakan merupakan perkembangan dari kuil dengan bentuk Shikara (menara yang bertingkat). Bentuk Candi Arjuna mirip dengan candi di India Selatan, yang bentuknya disebut wimana. Prototipe wimana adalah rumah berstruktur bambu. Candi Semar, kemungkinan mengambil bentuk mandapa, yang menjadi bagian dari candi di India, sebagai tempat untuk peziarah dan acara festival.
2. Arsitektur candi-candi di Dieng mengalami perkembangan ke arah kemandirian dari pengaruh India. Candi Arjuna dan Candi Bima diketahui memiliki gaya India yang kental. Kemudian candi-candi lain secara bertahap menunjukkan ciri lokalnya ditandai oleh perkembangan relung dan atap menara. Berkembangnya ciri lokal dimulai dari Candi Srikandi (dari kelompok Candi Arjuna) yang relungnya belum menonjol dan menara atapnya masih terpisah. Tahap selanjutnya adalah candi Puntadewa dan Sembadra yang relung-relungnya lebih menonjol, disusul dengan Candi Dwarawati yang relung dan menaranya hampir mencapai bentuk khas Dieng. Akhirnya, gaya lokal Dieng ditemukan di Candi Gatutkaca yang menara atapnya disatukan dengan struktur bangunannya. Siwa, Dewa utama di Dieng mempunyai banyak wujud: wujud aniconic adalah lingga, wujud antropomorfik (manusia) misalnya Siwa Mahaguru, dan Hari-Hara, wujud zoomorfik (binatang) adalah Nandi, dan wujud teriantrofik (setengah manusia setengah hewan) adalah adikaranandin. Siwa juga digambarkan dalam bentuk androgini (separuh laki-laki dan separuh wanita), yaitu Ardhanariswari, yang menggambarkan Siwa dan istrinya dalam satu tokoh.
3. Adanya hiasan kala dan makara. Kala di Jateng tanpa dagu (kala ukiran diatas pintu). Kala ada pasangannya yaitu makara.
4. Terdapat Pradagsinapatha (tempat jalan sempit). Tetapi tidak ada tepi (pagar langkar).
5. Relung di dinding candi berjumlah 5 buah. Masing-masing sisi 1, kecuali di bagian muka candi berjumlah 2.
6. Di tengah ada pondasi terdapat sumuran. Di dalam sumuran ada perigi tempat untuk menyimpan untuk menyimpan peripih yang ditutup yoni sampai ke pondasi.
7. Candi-candi di Dieng hampir semua menghadap ke barat, kecuali Candi Semar. Biasanya arah candi menghadap pusat kerajaan.
Dua kelompok dewa di candi Dieng:
1. Kelompok Dewa Tri Murti. Candi-candi di Dieng adalah Candi Hindu, Dewa utama yang disembah dalam Agama Hindu adalah Tri Murti, terdiri atas Brahma (dewa pencipta alam semesta), Wisnu (dewa pengatur waktu keberadaan isi alam semesta), dan Siwa (dewa pengatur kembalinya isi alam semesta kepada alam keabadian). Di Dieng, keberadaan Tri Murti ditemukan di Candi Srikandi, ini berarti terdapat pemujaan Tri Murti di Dieng.
2. Kelompok Siwa dan Parswadewata. Dalam Agama Hindu, terdapat banyak sekte, paling populer adalah sekte saiwa yang mengutamakan pemujaan Dewa Siwa. Di dalam candi untuk memuja Siwa. Siwa atau lingga-yoni menempati bilik utama (garbagreha) diikuti oleh parswadewata, terdiri atas Agastya, Ganesa Dan Durga. Di India, parswadewata tidak menyertakan Agastya, melainkan Kartikeya. Di Dieng, bukti pemujaan Kartikeya dijumpai dalam prasasti Humpan yang dijumpai di Gunung Pangonan.
Kelompok candi Jawa Tengah bagian utara seperti Candi Dieng biasanya memiliki ciri-ciri: Candi-candi berkelompok tidak beraturan dan lebih-lebih merupakan gugusan candi yang masing-masing berdiri sendiri. Selain itu hiasan dan bentuknya lebih bersahaja. Bangunan candi terdiri atas kaki yang melambangkan bhurloka (dunia manusia), dan tubuh yang melambangkan bhuwarloka (dunia mereka yang disucikan), dan atap yang melambangkan swarloka (dunia para dewa). Kaki, denahnya bujur sangkar, agak tinggi, serupa batus, dapat dinaiki melalui tangga ke bilik candi. Ditengah-tengah ada sebuah perigi tempat menanam peripih. Tubuh candi, terdiri dari: sebuah bilik yang berisi arca perwujudannya di tengah bilik, tepat di atas perigi, menghadap ke arah pintu masuk candi. Dinding bilik sisi luarnya diberi relung-relung yang diisi dengan arca. Relung sisi selatan bertakhta arca guru, utara-durga dan dalam relung dinding belakang (barat atau timur, tergantung arah hadap candi) arca Ganesha. Atap candi: Terdiri atas susunan tiga tingkatan, yang semakin ke atas semakin kecil ukurannya, pada puncak diberi genta. Di dalam atap terdapat sebuah rongga kecil yang dasarnya berupa batu segi empat berpahatkan gambar teratai merah, tahta dewa, dimaksudkan sebagai tempat bersemayam sementara sang dewa.
BAB IV
Potensi Ekonomi Dataran Tinggi Dieng
A. Kegiatan Ekonomi Masyarakat Dieng
Kegiatan ekonomi di suatu tempat berkaitan erat dengan potensi di suatu daerah. Manusia berusaha memanfaatkan apa yang ada di sekitar lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan ekonomi masyarakat Dieng antara lain:
1. Pertanian
Sebagian besar masyarakat Dieng bermatapencaharian bertani. Ada yang hanya menjadi buruh kerja saja, dan ada pula yang mengelolah lahannya sendiri. Para pemilik modal di Dieng biasanya banyak membeli lahan, karena semakin bertambah tahun lahan-lahan di Dieng harganya semakin naik. Hal ini sangat menguntungkan warga yang banyak memiliki lahan pertanian.
a. Kentang. Sebagian petani di Dieng menanam kentang, meskipun banyak juga tanaman sayuran yang bisa ditanam pada lahan di Dieng. Tetapi petani tetap kebanyakan memilih tanaman kentang, karena dlihat dari harga pemasarannya lumayan tinggi dibanding dengan sayuran lainnya. Selain itu juga banyak lagi manfaat kentang, yaitu:
1) Bahan diversifikasi pangan non beras yang bernilai gizi tinggi.
2) Tanaman cepat menghasilkan (cash crop) bagi petani.
3) Komoditas ekspor non-migas.
4) Bahan dasar industri pangan dan tekstil.
5) Bahan makanan fast-food yang menjamur di kota-kota besar.
b. Karika. Kabupaten Wonosobo juga memiliki komoditas unik yang bisa dijadikan andalannya, yaitu Karika, sejenis pepaya kerdil yang hanya hidup di atas ketinggian 1.700 m dpl. Dataran Tinggi Dieng carica tumbuh secara liar. Sebagai oleh-oleh dari dataran tinggi Dieng, pengunjung dapat membeli manisan carica di berbagai toko di Wonosobo Karika juga hanya mampu tumbuh dan berkembang bagus di Dieng. Tanaman ini merupakan tanaman yang sangat potensial untuk dijadikan komoditas unggulan, karena setelah digarap secara tradisional, ternyata memiliki potensi pasar yang cukup menjanjikan. Karika diproduksi menjadi minuman botolan yang pengolahan dilakukan oleh masyarakat sendiri.
Karika bisa dijadikan potensi unggulan daerahnya, melalui sistim produksi pabrikasi. Untuk terpenuhinya kapasitas konstan produksi sebuah pabrikasi, dibutuhkan minimal 5.000 hektar untuk pengembangannya. Karena itulah, Pemkab Wonosobo sedang mencari areal yang dianggap paling pas untuk tumbuh dan berkembangnya Karika.
c. Purwaceng. Dieng juga memiliki tanaman yang mirip dengan ginseng yang bernama purwaceng (pimpinella pruatjan). Pohon jenis perdu ini pun tidak bisa tumbuh sembarangan. Berbeda dengan ginseng, kalau tanaman khas Korea ginseng masih dapat tumbuh di Indonesia hingga menghasilkan umbi, walaupun tidak sebaik di tanah asalnya. Sedangkan Purwaceng, hanya bisa tumbuh di Gunung Dieng, Kabupaten Wonosobo. Itu pun tidak semua kawasan Gunung Dieng, karena harus memiliki ketingian 1.700-2000 meter diatas permukaan laut (dpl). Hanya dua gunung yang bisa dijadikan sebagai habitatnya, yakni Gunung Perahu dan Gunung Pakuwojo. Sudah banyak yang berusaha membudidayakannya, namun hasilnya tidak sebagus aslinya.
Saat ini sudah ada yang memproduksi Purwaceng sebagai obat-obatan dalam bentuk ekstrak maupun kapsul, sebagai suplemen untuk memacu stamina laki-laki. Sayangnya, hingga saat ini pengembangannya masih bersifat tradisional. Belum digarap dengan teknologi yang lebih modern. Ke depannya, Purwaceng diharapkan bisa menjadi komoditas yang bisa diolah secara lebih maju lagi.
2. Kegiatan ekonomi lain.
Masyarakat Dieng ada juga yang bermatapencaharian selain petani, yaitu sebagai pedagang, berkebun tembakau, pegawai pemerintahan maupun swasta, dll. Perdagangan di Dieng yang semakin maju karena didukung oleh adanya pemilik modal, alat trasportasi dan sarana trasportasi. Sehingga mempermudah dalam distribusi hasil pertanian dari petani baik ke konsumen langsung ataupun ke pedagang eceran yang ada di pasar. Tanah di Dieng juga ada yang cocok untuk ditanami tembakau, jadi sebagian petani ada yang berkebun tembakau. Kemudian, dari aspek pariwisata warga dapat memperoleh pendapatan.
B. Perkembangan Permintaan dan Penawaran Komoditas Loncang di Dieng
Dalam pembahasan bab kali ini, kelompok kami diberi tugas untuk meneliti komoditas loncang. Penelitian kami mengenai harga dan perkembangan supply dan permintaan berlokasi di Pasar Garung, Wonosobo.
Loncang termasuk dalam jenis sayuran yang digunakan sebagai sayuran pelengkap, biasanya diolah bersama sayuran lain, bahan gorengan dan makanan lainnya.
Masa tanam loncang adalah tiga bulan. Produksi tanaman loncang dipengaruhi oleh banyaknya curah hujan. Jika terlalu sedikit curah hujan maka loncang akan mati namun jika terlalu banyak curah hujan maka loncang akan membusuk.
Di pasar tersebut terdapat dua jenis loncang yang di jual di pasar tersebut yaitu loncang besar dan loncang kecil. Para pedagang di pasar Garung berkulakan loncang di pasar Siwuran, Kalijeruk. Menurut Ibu Karsono hasil loncang dari petani dibeli oleh pedagang desa (tengkulak desa) lalu dijual ke pasar Siwuran. Pembeli di pasar Siwuran tidak terbatas pedagang sayur di sekitar Dieng, tapi juga dari luar kota seperti Jakarta, Ciamis, Banjarnegara dan sekitarnya. Pasar sayur lokal lain yang ada di sekitar pasar Garung adalah Pasar Moyosari, Pasar Siwuran, dan Pasar Kreteg.
Di pasar Garung tersebut antara harga kulakan dan harga jual relatif sama antara penjual yang satu dengan penjual yang lainnya. Yaitu harga kulakan adalah Rp. 1500,00/kg sedangkan harga jual adalah Rp. 2000,00/kg. Jadi para penjual biasannya memperoleh keuntungan Rp. 500, 00/kg. Harga loncang paling mahal bisa mencapai Rp. 5000,00/kg. Ini biasanya terjadi pada bulan Juli-September karena lahan untuk menanam loncang digunakan untuk menanam tembakau dan hasilnya produksi petani sedikit. Dan menurut Ibu Rukiyah pedagang di pasar tersebut, harga loncang ikut naik saat harga kubis, seledri dan wortel naik. Sedangkan biasannya harga loncang murah pada waktu bulan-bulan panen termasuk bulan maret. Dan biasanya harga kulakan Rp. 1250, 00/kg dan dijual kembali oleh pedagang dengan harga Rp. 1500,00/kg. Hal lain yang menyebabkan naik turunnya harga loncang adalah harga barang-barang penunjang produksi seperti halnya pupuk.
Pembeli loncang di pasar Garung adalah ibu rumah tangga, penjual martabak, penjual mie ayam, penjual gorengan, juga orang-orang yang mempunyai warung atau rumah makan. Menurut Ibu Partiyah, dalam sehari loncang bisa terjual hingga 5 kilogram dan pembeli bisa banyak jika hari bercuaca cerah karena jika cuaca buruk/hujan, mungkin pembeli malas untuk pergi ke pasar. Pembeli loncang bisa meningkat dan harga meningkat saat musim hajatan, nikah, khitan, bulan mulud dan lebaran. Namun terkadang pada masa lebaran harga loncang bisa saja tetap murah walaupun permintaan akan loncang banyak. Seperti pada lebaran kemarin harga loncang tetap murahdikarenakan panen sedang melimpah.
Hal-hal yang mempengaruhi permintaan pasar loncang di Dieng:
1. Pasar Induk
Pasar Induk adalah pasar grosir tradisional yang atau pasar tradisional terbesar di tiap propinsi. Pasar ini biasanya terletak di pusat kota propinsi. Adanya pasar Induk seperti Pasar Induk Wonosobo tentunya mempengaruhi permintaan loncang di Dieng.
2. Pasar Lokal
Pasar lokal yang dimaksud adalah pasar di pusat- pusat produksi. Di pasar tradisional lokal umumnya dijual bahan pangan dan nonpangan dan melayani penjual eceran. Keberadaan pasar lokal seperti pasar Kreteg, Pasar Siwuran, dan Pasar Moyosari di Dieng juga mempengaruhi permintaan loncang di Dieng.
3. Pengolah
Pengolah loncang seperti penjual gorengan, penjual mie ayam dan makanan lain yang memerlukan loncang, dan adanya musim hajatan juga mempengaruhi permintaan loncang.
4. Fluktuasi harga
Fluktuasi harga loncang mempengaruhi permintaan loncang di Dieng.
Hal-hal yang mempengaruhi penawaran pasar Loncang di Dieng:
1. Modal[11]
Petani Dieng seringkali terhambat permodalan, khususnya saat musim tanam. Besarnya biaya produksi membuat sebagian petani terpaksa meminjam modal berbunga tinggi kepada tengkulak. Akibatnya, selain petani terbebani bunga pinjaman, proses produksi sering terhambat. Karena itulah petani Dieng berharap ada lembaga keuangan khusus yang membantu mereka mengakses modal berbunga. Sehingga tidak menghambat proses penanaman, hal ini juga petani segera dapat menyediakan permintaan pasar jadi harga barang tidak akan melonjak tinggi.
2. Ketersediaan faktor produksi seperti tenaga kerja, bibit, pupuk, dan pestisida.
Kita ketahui sekarang ini generasi muda khususnya di Dieng yang tetap menetap di desanya itu jarang sekali. Kebanyakan dari mereka pergi ke kota untuk melenjutkan studi ataupun bekerja yang jauh lebih baik. Sehingga ketersediaan tenaga kerja sedikit terganggu, dengan sedikitnya tenaga kerja yang tersedia. Apabila petani akan membeli bibit unggul mereka harus sabar menunggu dan lumayan jauh tempat membelinya. Selain itu juga petani yang kurang berpengalaman memilih pupuk dan pestisida, mereka kebingungan sebelum ada informasi dari petani yang professional. Hal ini karena kurangnya keterlibatan pemerintah dalam kegiatan masyarakatnya.
3. Kesuburan tanah
Tanah di Dieng tidak semuanya bisa ditanami karena tingkat kesuburan yang berbeda-beda dari tempat yang satu dengan tempat yang lainnya. Dan kesuburan tanah juga dapat berkurang. Kondisi tanah yang selalu berkurang kesuburannya karena erosi memepengaruhi hasil pertanian loncang. sehingga mempengaruhi penawaran.
4. Cuaca
Jika tanaman loncang pada saat jangka waktu penanaman terlalu banyak hujan yang turun, tanaman mudah busuk, begitu pula saat curah hujan kurang, tanaman loncang juga terhambat pertumbuhannya.
5. Komoditas lain
Dengan ditanamnya tembakau di lahan-lahan petani Dieng yang sebelumnya digunakan untuk menanam loncang juga mempengaruhi penawaran petani. Penanaman tembakau terutama pada bulan Juli-September. Sehingga harga pun naik.
BAB V
Nilai-nilai yang Dapat Diambil dari KKL1
Berbagai perilaku masyarakat Dieng yang berkaitan dengan aspek geografis, historis, dan ekonomis mencerminkan nilai-nilai yang berguna bagi manusia dan kehidupannya, baik dengan sesama manusia, kehidupan alam dan hubungan dengan Tuhannya. Nilai-nilai tersebut adalah:
A. Nilai yang Terkait dengan Aspek Geografi
Nilai yang terkait dengan keadaan geografis Dataran Tinggi Dieng beserta potensinya adalah:
1. Kemandirian daerah. Pemanfaatan Sumber Daya Alam daerah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat Dieng, masyarakat yang mandiri dan kreatif mengembangkan potensi geografi seperti pertanian, perkebunan, pertambangan dan potensi lain menyebabkan kemandirian daerah Dieng.
2. Kemauan untuk berkoordinasi dan bekerja sama. Karena Dieng terbagi menjadi dua kabupaten, diperlukan koordinasi serta kerja sama dia natara kedua kabupaten tersebut dalam hal pengeloalaan dan pelestarian alam Dieng. Agar pelestarian alam Dieng tidak timpang dan lebih mudah terwujud, sehingga kesejahteraan bersama dapat tercapai.
3. Kemauan untuk memelihara sumber daya alam dengan arif. Pelestarian alam di Dieng belum dapat dikatakan telah sempurna karena pelestarian alam bebenturan dengan upaya pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat Dieng dan sekitarnya. Sehingga upaya pelestarian alam Dieng seharusnya lebih dapat diupayakan lagi agar kelak generasi berikutnya masih dapat merasakan kekayaan alam Dieng.
B. Nilai yang Terkait dengan Aspek Histori
1. Penghargaan manusia akan keberadaan Sang Pencipta dalam agama Hindu pada saat pendirian candi Dieng dan masa-masa setelah itu. Pembangunan candi tentunya memerlukan tenaga, mental, dana, dan waktu yang banyak. Kesemua hal itu mampu dilaksanakan umat Hindu pada zaman pembangunan candi sebagai bentuk penghargaan kepada Tuhan mereka.
2. Gotong royong dan kegigihan dalam proses pembuatan candi. Proses pembuatan candi tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sehingga diperlukan kegigihan untuk membangun sebuah candi dan dilaksanakan secara bergotong royong untuk meringankan dalam proses pembuatan candi.
3. Pelestarian peninggalan-peninggalan kuno. Candi-candi di Dieng merupakan salah satu peninggalan kuno yang harus dilestarikan dan tetap dijaga keutuhannya.
4. Saling menghargai kepercayaan masing-masing individu. Masyarakat di sekitar Dieng tidak hanya menganut agama hindu saja sehingga dibutuhkan adanya rasa saling menghargai antar sesame warga walauun mereka mempunyai kepercayaan yang berbeda-beda.
5. Mengembangkan potensi pariwisata. Dengan adanya bangunan candi di Dieng bisa menjadi daya tarik wisatawan sehingga bisa mengembangkan potensi pariwisata di daerah Dieng.
6. Rasa tanggung jawab untuk menjaga dan tidak merusak bangunan candi. Bangunan candi harus dilestarikan seahingga dibutukan rasa tanggung jawab dari warga sekitar untuk menjaga dan tidak merusak bangunan candi yang ada.
C. Nilai yang Terkait dengan Aspek Ekonomi
Adapun nilai-nilai yang ada pada kegiatan ekonomi masyarakat Dieng, yaitu
1. Kejujuran. Biasanya para pemilik lahan mempercayakan begitu saja kepada para pekerja yang mengelola lahannya. Maka seorang pekerja harus benar-benar jujur tentang pengeluaran untuk keperluan dimulai dari proses pengolahan lahan, pembelian bibit, penanaman dan perawatan tanaman (obat hama yang diperlukan), proses panen dan hasilnya. Dengan kejujuran tidak akan merugikan kedua belah pihak. Dan banyak keuntungan yang diperolehnya, seperti pekeja akan diberi kepercayaan yang sepnuhnya oleh pemilik lahan dengan jangka waktu yang lama selagi masih mau mengelolah lahannya, pembagian hasil yang terbuka sehingga tidak ada rasa saling mencurigai yang tidak baik.
2. Keuletan. Dalam proses pengolahan lahan yang baik, seorang petani harus mempunyai keterampilan dan keuletan. Ulet dalam mengolah tanah sangat diperlukan agar dapat menghasilkan panen yang maksimal. Adapun tindakan yang dilakukan petani yaitu dimulai dari memilih pupuk yang cocok, pembuatan terasering yang baik (dapat mendukung proses tumbuhnya tanaman dan bertujuan agar unsur hara tanah tidak hilang), pemilihan bibit tanaman juga tidak boleh sembarangan harus mempertimbangkan kualitas. Selanjutnya pada tahap pertumbuhan petani harus mampu mengetahui hama-hama yang menyerang tanamannya dan obat hama apa yang digunakan agar hama-hamanya mati, tetapi juga harus tetap menjaga kualitas tanamannya.
3. Kemanusiaan. Pada saat penjualan hasil panen ke tengkulak yang disini berperan sebagai distributor. Seorang distributor harus mempunyai nilai kemanusiaan, ketika mereka membeli hasil ladang para petani. Harga yang ditawarkan harus yang sesuai dengan harga laku di pasar, tidak seenaknya sendiri menentukan harga yang rendah karena itu akan merugikan para petani yang sudah menghabiskan biaya dan tenaga yang tidak sedikit untuk proses penanamannya dari awal sampai dengan panen.
4. Tanggung jawab. Penanaman tanaman yang ada di Dieng kebanyakan dalam penanaman jenis tanamannya itu dari tahun ke tahun sama, penggunaan pupuk dan pemberantas hama yang berlebihan. Walaupun bagi petani memang sangat menguntungkan para petani pada saat penjualannya. Mereka seharusnya tidak hanya memikirkan jangka pendeknya saja. Rasa tanggung jawab mereka harus ada dalam mempertahankan unsur hara tanah. mengakibatkan semakin berkurangnya kandungan unsur hara yang ada, lama kelamaan tanah akan tidak produktif lagi.
5. Berbagi. Pendapatan masyarakat Dieng selain digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi juga digunakan kegiatan sosial, contohnya bergotong royong membangun masjid. Terbukti di Dieng banyak sekali didirikan masjid dan mushola. Pendapatan mereka juga bisa digunakan membangun desa mereka agar lebih maju seperti membuat jalan desa agar aktivitas masyarakatnya bisa bejalan dengan lancar.
BAB VI
Penutup
A. Kesimpulan
Dataran Tinggi Dieng adalah kawasan vulkanik yang terbentuk bertahap sejak masa kuarter, 2 juta tahun yang lalu. Tahap awalnya, aktivitas erupsi vulkanik membentuk kawah dan pegunungan. Tahap kedua, sebagian kawah tidak aktif lagi dan menjadi kantong-kantong air hujan di dataran di anatara pegunungan. Tahap ketiga, kegiatan vulkanink di dalam bumi masih terus berlangsung dan pengaruh larutan hidrotermal menyebabkan terjadinya mata air panas dan kawah-kawah baru, proses ini berlangsung sampai sekarang. Hal ini membuahkan banyak potensi di bidang pertanian, pariwisata, keberadaan sumber panas bumi dan menuntut nilai-nilai yang berkaitan dengan pemanfaatan alam yang berimbang dengan pelestariannya.
Menurut Prasasti Canggal (732 M), Raja Sanjaya adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno dari Dinasti Sanjaya. Keturunan Raja Sanjaya tetap beragama Hindu dengan wilayah kekuasaan meliputi Jawa Tengah bagian utara. Mereka mendirikan candi-candi Hindu di Dataran tinggi Dieng dengan masa pembangunannya berkisar tahun 778-850 M. Di Dataran Tinggi Dieng dapat dijumpai perkomplekan candi yang banyak jumlahnya. Komplek Candi Dieng dibangun pada masa agama Hindu, dengan peninggalan Arca Dewa Siwa, Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lainya bercirikan Hindu baik dari India Utara dan India Selatan dan ciri candi lokal Dieng, antara lain:
Sikhara (India Utara), hiasan Kudu (India Selatan). Lalu candi Dieng juga dibagi menjadi candi kelompok Dewa Tri Murti dan aliran Siwaistik.
Keberadaan peninggalan sejarah di Dieng yang berawal dari kepercayaan masyarakat dahulu berwujud candi yang dibangun dengan semangat, kerja keras, dan gotong royong, menuntut pelestarian dari generasi berikutnya dan adanya penghargaan akan pluralitas baik dari segi agama dan kepercayaan.
Kegiatan ekonomi masyarakat Dieng berkisar pada kegiatan pertanian, perdagangan, pariwsata, perkebunan tembakau. Lalu perkembangan permintaan loncang di Dieng dipengaruhi oleh pasar induk, pasar lokal, pengolah, fluktuasi harga, dan keadaan yang ada dalam masyarakat (hajatan, hari –hari besar, dll.).
Hal-hal yang mempengaruhi supply pasar Loncang di Dieng adalah modal, ketersediaan faktor produksi seperti tenaga kerja, bibit, pupuk, dan pestisida, kesuburan tanah, cuaca, dan komoditas lain.
B. Saran
1. Diharapkan dengan potensi yang ada pada Dataran Tinggi Dieng, potensi tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik untuk menunjang kesejahteraan masyarakat Dieng dan sekitarnya.
2. Giatnya pemanfaatan sumber daya yang ada di Dieng seharusnya diiringi dengan pelestarian alam yang giat pula.
3. Hendaknya dalam pelestarian alam lebih banyak bermediakan tradisi, kearifan local dan budaya setempat, sehingga program pelestarian benar-benar mengena pada masyarakat.
4. Diharapkan koordinasi dan integrasi yang lebih baik dari pemda kabupaten Banjarnegara dan kabupaten Wonosobo dalam pengelolaan pelestarian alam Dieng. Promosi wisata, pengembangan, serta pelestarian alam yang baik akan lebih memperkaya pendapatan masyarakat dan daerah. Seperti contoh dibuatnya fasilitas area outbond, trekking pedesaan, cycling Route, dan angkutan antar obyek.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2007. Wisata Kabupaten Banjarnegara, (Online), http://www.indonesia.go.id/id/index2.php, diakses pada 21 April 2010).
Anonim. Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateu), (Online), (http://www.banjarnegarakab.go.id/menu.php?name=Halaman_Potensi&sop=lihat_halaman&artid=1, diakses pada 21 April 2010).
Anonim. Dieng Tempat Tinggal Para Dewa, (Online), (www.indonessianvillage.com, diakses pada21 April 2010).
Anonim. Dieng, (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Dieng, diakses pada 21 April 2010).
Anonim. Kawasan Dataran Tinggi Dieng, (Online), (http://www.central-java-tourism.com/id/places-resort-Dieng.php, diakses pada 21 April 2010).
Anonim. Proyek Dieng, (Online), (http://www.geodipa.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=72&Itemid=110&lang=in, diakses pada 21 April 2010).
Bardika, I Wayan. 2006. Sejarah. Jakarta : Erlangga.
Hadori, Udia Haris. 2010. Pengantar Meteorologi. Yogyakarta : DH.
Priambada, Yuliadi Tunjung. 2009. Dieng, Kawasan Eksotis Penuh Historis, (Online), ( http://www.arupadhatuindonesia.com/jalan-jalan/76-dieng-kawasan-eksotis-penuh-historis, diakses pada 21 April 2010).
Surahmat. 2009. Tiga Masalah Petani Dieng, (Online), (http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/05/05/62166/Tiga.Masalah.Petani.Dieng, diakses pada21 April 2010).
LAMPIRAN
A. Hasil Wawancara
1. Ibu Karsono, Kali Jeruk, Siwuran, Garung, Wonosobo, Jateng.
Harga Kulakan : 1500
Harga Jual : 2000
Tempat kulakan : Pasar Siwuran, Kali Jeruk
Info yang didapat :
a. Harga loncang mahal sekitar bulan juli-septemper, bisa di atas 5000 karena lahan untuk menanam tembakau.
b. Pembeli di Pasar Siwuran tidak terbatas pedagang sayur Dieng, tapi juga luar kota seperti Jakarta , Ciamis, Banjarnegara.
c. Hasil loncang dari petani dibeli oleh pedagang desa (tengkulak desa) lalu dijual di pasar Siwuran.
d. Murah pada bulan-bulan panen, termasuk maret ini.
2. Ibu Partiyah, Sendangsari, Garung, Wonosobo.
Harga Kulakan : 1500
Harga Jual : 2000
Info yang didapat :
a. Sehari rata-rata terjual 5 kg, pembeli banyak saat cuaca cerah.
b. Pembeli meningkat dan harga meningkat saat musim hajatan, nikah, khitan, bulan mulud, lebaran.
c. Pembeli sehari-hari dari ibu rumah tangga, penjual martabak, penjual mie ayam, penjual gorengan, warung rumahan.
d. Ada dua jenis loncang yang dijual di pasar Garung, yaitu loncang besar dan loncang kecil.
e. Dahulu ada pabrik Indofood di daerah Dieng, tapi sekarang sudah tutup. Mereka menanam loncang sendiri di lahan.
f. Harga loncang paling mahal yang pernah ditemui mencapai 7000/kg.
3. Ibu Rukiyah, Sendangsari, Garung, Wonosobo.
Harga Kulakan : 1500
Harga Jual : 2000
Info yang didapat :
a. Harga murah saat masa panen dan mahal saat produksi petani sedikit, bisa jadi saat lebaran harga loncang tetap murah karena saat itu panen loncang sedang banyak, seperti lebaran kemarin.
b. Masa tanam loncang 3 bulan. Produksi dipengaruhi banyaknya curah hujan. Terlalu sedikit loncang mati, terlalu banyak hujan loncang busuk.
c. Pasar sayur lokal yang ada di sekitar: Pasar Moyosari, Pasar Siwuran, Pasar Kreteg.
d. Harga loncang bisa saja ikut naik saat harga kubis, sledri dan wortel naik.
B. Dokumentasi
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Jam | Asman | Slink | Thermo Hygro | PH | |||||||
TB* | TK* | Selisih T* | RH[12] | TB* | TK* | Selisih T* | RH | Thermo* | Hygro | ||
23.30 | 14,5 | 15,2 | 0,7 | 88% | 14,7 | 15,3 | 0,6 | 94% | 22 | 96% | 6,2 |
23.40 | 14,2 | 15 | 1 | 88% | 14,7 | 15,0 | 0,3 | 94% | 21,5 | 98% | 6 |
23.50 | 14,6 | 15,2 | 0,4 | 94% | 14,5 | 15,2 | 0,7 | 88% | 21,1 | 98% | 6 |
00.00 | 14,7 | 15,2 | 0,5 | 94% | 14,6 | 15,6 | 1 | 88% | 21,2 | 97% | 6,3 |
00.10 | 14,2 | 15,2 | 1 | 88% | 14,0 | 14,9 | 0,9 | 88% | 21,5 | 97% | 6 |
00.20 | 14,6 | 15,2 | 0,6 | 94% | 14,3 | 15,7 | 1,4 | 82% | 21,5 | 93% | 6 |
00.30 | 13,9 | 15 | 1,1 | 88% | 14,0 | 15,2 | 1,2 | 88% | 21 | 92% | 6,2 |
Rata-rata | 14,38 | 15,14 | 0,757 | 90,57% | 14,4 | 15,27 | 0,87 | 88, 85% | 21,4 | 95,85% | 6,1 |
C. Tabel Hasil Pengukuran Alat
*= dalam ° celcius
[1] Diakses dari Dieng, (Online), (http://id.wikipedia.org/wiki/Dieng, diakses pada 21 April 2010).
[2]Sebagian pembahasan dari bab ini dikutip dari Kawasan Dataran Tinggi Dieng, (Online), (http://www.central-java-tourism.com/id/places-resort-Dieng.php, diakses pada 21 April 2010).
[3] Dikutip dari Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateu), (Online), (http://www.banjarnegarakab.go.id/menu.php?name=Halaman_Potensi&sop=lihat_halaman&artid=1, diakses pada 21 April 2010).
[4] Freatik atau air tanah permukaan adalah air tanah yang terdapat di atas lapisan tanah/batuan yang tidak tembus air (impermeable). Contoh: air sumur, sungai, danau, rawa, dll, dalam hal pembahasan ini adalah air yang ada pada permukaan kawah.
[5] Dikutip dari Wisata Kabupaten Banjarnegara. 2007, (Online), (http://www.indonesia.go.id/id/index2.php, diakses pada 21 April 2010).
[6] Dikutip dari Priambada, Yuliadi Tunjung. 2009. Dieng, Kawasan Eksotis Penuh Historis, (Online), (http://www.arupadhatuindonesia.com/jalan-jalan/76-dieng-kawasan-eksotis-penuh-historis, diakses pada 21 April 2010).
[7] Keterangan ini dikutip dari tulisan berjudul Proyek Dieng, (Online), (http://www.geodipa.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=72&Itemid=110&lang=in, diakses pada 21 April 2010).
[8] Dikutip dari Bardika, I Wayan. 2006. Sejarah. Jakarta : Erlangga, h: 23-26.
[9] Dikutip dari Bardika, I Wayan. 2006. Sejarah. Jakarta : Erlangga, h: 52-53.
[10] Dikutip dari tulisan yang berjudul Dieng, Tempat Tinggal para Dewa, (Online), (www.indonesianvillage.com).
[11] Surahmat. 2009. Tiga Masalah Petani Dieng, (Online), (http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2009/05/05/62166/Tiga.Masalah.Petani.Dieng, diakses pada21 April 2010).
[12] Kelembapan nisbi udara dihitung berdasarkan Tabel Kelembapan Nisbi Udara halaman 172, dalam buku Hadori, Udia Haris. 2010. Pengantar Meteorologi. Yogyakarta : DH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar