Senin, 05 April 2010

Pelanggaran Lalu Lintas di Perempatan Jetis

Lokasi penelitian: Perempatan Jetis.
Waktu penelitian: Selasa, jam 06.30-07.30 dan Kamis jam 20.00-20.30.
Teknis Penelitian: Dalam melakukan penelitian anggota kelompok dibagi ke 3 sisi perempatan. Satu anggota di sebelah barat perempatan, 1 anggota di sebelah selatan, 2 anggota di sebelah utara dan 1 anggota melakukan tugas pemotretan.
Penjelasan: Perempatan Jetis adalah perempatan yang sangat strategis dimana disitu banyak sekali institusi pendidikan yang berdiri, yang kesemuanya rata-rata memiliki 800 siswa dan mempunyai jam kerja pukul 07.00. Warga dari sekolah-sekolah tersebut biasanya menggunakan sepeda motor, sepeda, mobil sebagai alat transportasi maupun angkutan umum. Terlepas dari warga sekolah, banyak juga pengguna jalan yang berasal dari kalangan lain, mulai dari tukang sayur, tukang becak, angkutan umum, mahasiswa, pegawai yang kesemuanya rata-rata memiliki jam kerja pada pagi hari. Hal inilah yang menyebabkan padatnya lalu lintas di perempatan Jetis pada pagi hari.

Lembaga Sosial

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Lembaga Sosial
Menurut Hoarton dan Hunt, lembaga sosial (institutation) bukanlah sebuah bangunan, bukan kumpulan dari sekelompok orang, dan bukan sebuah organisasi. Lembaga (institutations) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Dengan kata lain Lembaga adalah proses yang terstruktur (tersusun} untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.
Pendapat para tokoh tentang definisi lembaga sosial :

UTS Sosiologi semester 1

1. Buktikan bahwa sosiologi adalah ilmu pengetahuan!
Sosiologi dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan karena memiliki ciri-ciri atau syarat ilmu pengetahuan. Johnsons, 1967 (dalam Soekanto, 1982:15) mengemukakan ciri-ciri sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, ciri-ciri utamanya adalah sebagai berikut:
a. Sosiologi bersifat empiris. Artinya sosiologi didasarkan pada observasi terhadap kenyataan dan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif.
b. Sosiologi bersifat teoritis. Artinya sosiologi selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil-hasil observasi.
c. Sosiologi bersifat kumulatif. Artinya bahwa teori sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori yang sudah ada dalam arti memperbaiki, memperluas atau memperhalus teori-teori lama.
d. Sosiologi bersifat non-etis. Artinya permasalahan yang dipersoalkan bukanlah buruk atau baiknya fakta tertentu, akan tetapi tujuannya adalah untuk menjelaskan fakta tersebut secara analitis.
Ciri yang lain adalah:
a. Memiliki objek (sesuatu yang dipelajari). Sosiologi memilki objek, yaitu manusia dengan segala pikiran, sikap dan perilakunya dalam kehidupan bersama masyarakat yang ada.
b. Memiliki metode. Sosiologi memiliki metode yang digunakan yaitu metode deskriptif, eksplanatori, historis komparatif, fungsionalisme, studi kasus, dan metode survey.
c. Bersifat universal. Sosiologi adalah ilmu yang umum.
d. Mempunyai sistem (sesuatu yang berhubungan). Aspek-aspek yang dipelajari sosiologi saling berhubungan. Tidak ada yang dapat berdiri sendiri, satu aspek yang dipelajari pasti mempunyai pengaruh pada aspek lainnya.
2. Bagaimana keterkaitan antara sosiologi dengan ilmu pengetahuan lainnya?

UAS Sosiologi semester 1

1. Mengapa kita sulit meletakkan garis pemisah antara masyarakat dan kebudayaan?
Masyarakat dan kebudayaan adalah satu kesatuan yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan, karena masyarakat adalah sekelompok individu yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Kebudayaan adalah hasil karya, rasa, dan cipta seorang individu yang dimatangkan, diolah, dan dipergunakan dalam masyarakat. Dengan demikian, tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan, begitu juga sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya.
Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan. Keberadaan kebudayaan tersebut seperti adanya teknologi transportasi dan komunikasi yang mempermudah manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Rasa meliputi jiwa manusia yang mewujudkan segala kaidah norma dan nilai sosial untuk mengatur masalah kemasyarakatan dalam arti yang luas.
Cipta merupakan kemampuan mental untuk berfikir dan memikirkan kehidupan bermasyarakat yang menghasilkan filsafat dan pengetahuan.

2. Benarkah bahwa stratifikasi sosial itu hanya terdapat pada masyarakat yang menganut sistem kasta? Jelaskan dan berilah contoh konkrit!

PENYIKSAAN ANAK DAN DAMPAKNYA

AYAH TEGAR DIVONIS 10 TAHUN PENJARA
Thursday, 26 November 2009 00:33
Madiun, 25/11 (Antara/FINROLL News) - Puryanto (27), ayah Endy Tegar Kurniadinata (4), bocah yang harus kehilangan kakinya sebelah kanan akibat dilindaskan ke kereta api oleh ayah kandungnya, pada 5 Juli 2009, divonis hukuman 10 tahun penjara.
Vonis dijatuhkan dalam sidang putusan yang digelar di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun, Jatim, Rabu.
Puyanto terbukti melanggar pasal 338 KUHP junto 53 tentang percobaan pembunuhan kepada anak kandungnya sendiri. Hal ini didasarkan pada keterangan saksi-saksi yang dihadirkan dalam kasus ini.
Vonis ini lebih berat satu tahun dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Moh. Fauzan yang menuntut mendakwa Puryanto dengan dakwaan 9 tahun penjara.
"Terdakwa terbukti melanggar pasal 338 KUHP junto 53 tentang percobaan pembunuhan, dan divonis dengan hukuman 10 tahun penjara dipotong masa tahanan," ujar Bambang Sasmito, Ketua Majelis Hakim saat membacakan vonis dalam sidang tuntutan.
Menurut majelis hakim, hal yang memberatkan, perbuatan yang dilakuakn terdakwa dinilai sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan. Juga menimbulkan trauma fisik dan psikologi pada anaknya, Tegar. Selain itu, juga membuat masa depan Tegar suram.
"Hal yang memberatkan lainnya adalah, terdakwa sudah pernah dihukum dan melakukan tindakan mengancam pada keluarga Tegar untuk membunuh dan membakar rumah. Sedangkan hal yang meringankan terdakwa adalah nihil," katanya menegaskan.
Sementara itu, terdakwa Puryanto, di persidangan mengatakan pihaknya menerima putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun tersebut.
Dalam persidangan, terdakwa juga sempat meminta izin memeluk anaknya Tegar, namun tidak diizinkan oleh Ketua Majelis Hakim Bambang Sasmito dan ibu Tegar, Devi Kristiani.
Hasil penyidikan kasus ini menyebutkab, terdakwa nekat mencoba membunuh anaknya sendiri sebagai pelampiasan karena merasa cemburu terhadap istrinya, Devi Kristiani (26) yang dicurigai mempunyai pria idaman lain.
Dari penyelidikan juga diketahui, Tegar, anak terdakwa, terlebih dahulu dicekik hingga pingsan, lalu digeletakkan di rel kereta api. Saat itu, terdakwa kemudian meninggalkan Tegar karena mengira telah meninggal.
Menanggapi putusan majelis hakim, Devi Kristiani, ibu Tegar, mengaku hukuman itu masih terlalu ringan dibandingkan dengan penderitaan anaknya yang telah kehilangan kaki kanannya. Pihaknya berharap, Puryanto dihukum seberat-beratnya karena telah tega berusaha membunuh anaknya sendiri. (PSO-072)

PENYIKSAAN ANAK DAN DAMPAKNYA
A. Pendahuluan
Penyiksaan anak merupakan kasus yang sering terjadi, namun dalam kehidupan kita penyiksaan anak masih sering diabaikan karena ketidaktahuan. Anak sebagai sasaran utama dalam kekerasan ini tentunya sangat memiliki resiko tinggi dalam kerugian fisik maupun mental.
1. Statistik Kekerasan terhadap Anak di Indonesia.

Hakikat dan Makna Sejarah

A. Makna Sejarah
Kata sejarah berasal dari bahasa Arab, yaitu syajaratun yang berarti pohon. Menurut bahasa Arab, sejarah sama artinya dengan sebuah pohon yang terus berkembang dari tingkat yang sangat sederhana ke tingkat yang lebih kompleks atau ke tingkat yang lebih maju. Itulah sebabnya, sejarah diumpamakan menyerupai perkembangan sebuah pohon yang terus berkembang dari akar sampai ranting yang terkecil.
Sedangkan menurut Edward Hallett Carr adalah sebagai berikut: Dengan fakta-fakta yang ada padanya; suatu dialog yang tidak henti-hentinya antara masa sekarang dengan masa silam. History is a continuous process of interaction between the historian and his facts, and unending dialogue between the present and the past (Carr,1982 : 30).
Sedangkan menurut Robert V. Daniels (1966 : 3) dengan singkat dikatakan bahwa : History is the memory of human group experience. Sejarah adalah kenangan pegalaman umat manusia.
J. Bank menyatakan bahwa: All past event is history (history as actuality). History can hep student to understand human behavior in the past, present and future. (new goals for historical studied). (1985 : 249). Semua peristiwa masa yang lampau adalah sejarah (Sejarah sebagai kenyataan!). Sejarah dapat membantu manusia untuk memahami perilaku manusia pada masa yang lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang (tujuan-tujuan baru untuk studi sejarah).
Selanjutnya dapat ditelaah rumusan sejarah menurut Muhammad Yamin yang berbunyi sebagai berikut: “Sejarah adalah ilmu pengetahuan dengan umumnya yang berhubungan dengan ceritera bertarikh sebagai hasil penafsiran kejadian-kejadian dalam masyarakat manusia pada waktu yang telah lampau, atau tanda-tanda yang lain. ”(Yamin, 1957:4 ).
Jadi secara khusus kelompok kami mengambil kesimpulan yaitu sejarah merupakan cerita atau kejadian atau peristiwa yang benar-benar sudah terjadi atau berlangsung pada waktu yang lalu, yang telah diteliti oleh penulis sejarah dari masa ke masa.

PMS

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
PMS adalah penyakit menular seksual yang disebabkan infeksi di dalam alat reproduksi laki-laki maupun wanita di akibatkan karena hubungan seksual seperti adanya virus, jamur maupun kuman yang menyebar ke bagian alat reproduksi lainnya, bahkan menyerang sistem kekebalan tubuh.
Saat ini PMS (Penyakit Menular Seksual) dapat dirawat dan disembuhkan. Namun demikan, beberapa PMS tidak memperlihatkan gejala-gejala yang nyata sehingga banyak orang yang bahkan tidak menyadari bahwa mereka mempunyai atau membawa PMS. PMS yang tidak diobati adalah penyebab utama kemandulan.
Ada juga beberapa PMS yang disebabkan oleh virus dan tidak bisa disembuhkan. Diantaranya adalah, Herpes, beberapa jenis Hepatitis, dan HIV. HIV menyebabkan AIDS. Sampai saat ini AIDS selalu berakibat fatal dan juga Hepatitis B dan C.
B. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah yang akan dibahas yaitu :
a. Menjelaskan pengertian Penyakit Menular Seksual
b. Memaparkan cara penularan Penyakit Menular Seksual
c. Memaparkan jenis-jenis Penyakit Menular Seksual
d. Menjelaskan pencegahan Penyakit Menular Seksual
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah menemukan jenis-jenis Penyakit Menular Seksual dan melakukan penanggulangan secara promotif dan preventif.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Penyakit Menular Seksual (PMS)
PMS adalah singkatan dari Penyakit Menular Seksual, yang berarti suatu infeksi atau penyakit yang kebanyakan ditularkan melalui hubungan seksual (oral, anal atau lewat vagina).
PMS juga diartikan sebagai penyakit kelamin, atau infeksi yang ditularkan melalui hubungan seksual. Harus diperhatikan bahwa PMS menyerang sekitar alat kelamin tapi gejalanya dapat muncul dan menyerang mata, mulut, saluran pencernaan, hati, otak, dan organ tubuh lainnya. Contohnya, HIV/AIDS dan Hepatitis B dapat ditularkan melalui hubungan seks tapi keduanya tidak terlalu menyerang alat kelamin.

DAMPAK NEGATIF SAMPAH DAN CARA PENANGGULANGANNYA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu faktor yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup, yang sampai saat ini masih tetap menjadi masalah besar bagi bangsa Indonesia adalah faktor pembuangan sampah. Banyak sekali sampah yang diproduksi masyarakat baik yang organik maupun anorganik. Sampah anorganik lebih sering berwarna, berasa dan berbau, namun potensial menimbulkan bahaya kesehatan.
Dalam hal sampah, di mana gangguan bau yang menusuk dan pemandangan (keindahan/kebersihan) sangat menarik perhatian panca indera kita. Begitu dominannya gangguan bau dan pemandangan dari sampah inilah yang telah mengalihkan kita dari bahaya racun dari sampah yang lebih mengancam kelangsungan hidup manusia. Sifat racun sintetis yang tidak berbau dan berwarna, dan dampak kesehatannya yang berjangka panjang (seperti kanker, kerusakan saraf, gangguan reproduksi dan lain-lain), membuat racun tersebut lepas dari perhatian kita.
B. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan pembuatan makalah ini antara lain, yaitu:
1. Sebagai bahan kajian para mahasiswa mengenai dampak pencemaran smpah terhadap lingkungan.
2. Sebagai cara untuk mencari berbagai cara untuk menanggulangi dampak pencemaran sampahi.
3. Sebagai metode pengumpulan data tentang pencemaran lingkungan.
C. Ruang Lingkup
Makalah ini membahas mengenai pencemaran oleh sampah, mulai dari pengertian sampah itu sendiri, bagian-bagian sampah, dampaknya bagi kehidupan, dan cara menanggulangi.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sampah
Istilah sampah pasti sudah tidak asing lagi ditelinga. Jika mendengar istilah sampah, pasti yang terlintas adalah setumpuk limbah yang menimbulkan aroma bau busuk yang sangat menyengat. Sampah diartikan sebagai material sisa yang tidak lagi diinginkan setelah berakhirnya suatu proses. Sampah adalah zat kimia, energi atau makhluk hidup yang tidak mempunyai nilai guna dan cenderung merusak. Sampah merupakan konsep buatan manusia, dalam proses-proses alam tidak ada sampah, yang ada hanya produk-produk yang tak bergerak (wikipedia). 

Makalah Pengemis yang Ada di UNY

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara berkembang yang identik dengan kemiskinan baik di kota maupun di desa. Di setiap kota, pasti ada daerah yang perumahannya berhimpitan satu dengan yang lain, banyaknya pengamen, pengemis, anak jalanan dan masih banyak lagi keadaan yang dapat menggambarkan masyarakat miskin perkotaan, bahkan di malam hari banyak orang-orang yang tidur di pinggir jalan. Kondisi demikian sangat memprihatinkan dan harus segera diatasi.
Banyak cara telah dilakukan baik oleh lembaga pemerintah maupun non pemerintah dan juga individu-individu pemerhati kemiskinan dan permasalahannya untuk mengatasinya seperti transmigrasi penduduk dari daerah padat ke daerah yang masih jarang penduduknya, penanggulangan bertambahnya penduduk dengan program Keluarga Berencana (KB), dan lain-lain. Semua itu ternyata belum berhasil, dan bahkan pemerintah terkesan tidak serius dalam menghadapi fenomena tersebut. Semua itu berdasarkan pada kenyataan di lapangan memang fenomena itu tidak berkurang tetapi justru semakin banyak.
Fenomena ini juga terjadi di sekitar kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Di sekitar UNY banyak kita jumpai pengemis yang sedang beraktivitas mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka mengemis di berbagai fakultas dan tempat strategis lainnya. Pengemis dewasa ini tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan primer saja tetapi sudah merupakan pekerjaan tetap yang prospek keberadaannya akan berlanjut terus.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat diungkapkan rumusan masalah penelitian tentang pengemis kali ini, yaitu:
1. Apa itu pengemis?
2. Mengapa mereka mengemis?
3. Bagaimana seluk beluk pengemis yang beroperasi di sekitar kampus UNY?
4. Bagaimana tanggapan mahasiswa mengenai pengemis?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui status organisasi pengemis yang ada di UNY.
2. Mengetahui anggota orgamisasi pengemis yang ada di UNY.
3. Mengetahui sistem manajemen organisasi pengemis yang ada di UNY.
4. Mengetahui kegiatan apa saja yng dilakukan pengemis di UNY.
5. Mengetahui wilayah kerja pengemis yang ada di UNY.
6. Mengetahu produk yang dihasilkan pengemis di UNY.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah tercapainya tujuan penelitian sehingga hasil penelitian dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan pihak-pihak yang terkait untuk menciptakan kampus UNY yang bersih dari pengemis.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA


PERNIKAHAN DALAM ISLAM

Pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang terinstitusi dalam satu lembaga yang kokoh, dan diakui baik secara agama maupun secara hukum.
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pada dasarnya, prinsip-prinsip pernikahan dalam Islam adalah sebagai berikut:
1. Prinsip kebebasan memilih, setiap orang mempunyai kebebasan memilih pasangannya selama tidak bertentangan dengan yang telah disyariatkan dalam Al-Quran.
2. Prinsip Mawaddah, mengosongkan hati dari kehendak-kehendak yang buruk.
3. Prinsip Rahmah, bersungguh dalam kebaikan pada pasangan, saling melengkapi, serta menolak segala hal yang mengganggu hubungan keduanya.
4. Prinsip amanah, tanggung jawab satu sama lain.
5. Prinsip mu’asyarah bil ma’ruf.
Rukun pernikahan adalah dengan adanya:

Makalah Struktur Komite dalam Organisasi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam setiap organisasi pasti terdapat suatu susunan kepengurusan. Namun, suatu organisasi tidak akan dapat melaksanakan dan menangani setiap kegiatan yang khusus dalam bidang tertentu yang diadakan oleh organisasi tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu struktur organisasi yang mampu menangani kegiatan tersebut sesuai dengan maksud dan tujuan. Sehingga banyak organisasi yang membuat bidang khusus untuk menangani kegiatan tersebut yang disebut dengan struktur organisasi komite.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut maka, rumusan masalah kali ini adalah:
1. Pengertian struktur komite.
2. Jenis-jenis struktur komite.
3. Sebab-sebab penggunaan strukturkomite.
4. Kelmahan struktur komite.
5. Ciri-ciri organisasi yang ber menggunakan struktur komite.
6. Contoh organisasi yang menggunakan struktur komite.
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk mmbahas dan mengulas hal-hal yang berhubungan dengan:
1. Pengertian struktur komite.
2. Jenis-jenis struktur komite.
3. Sebab-sebab penggunaan struktur komite.
4. Kelmahan struktur komite.
5. Ciri-ciri organisasi yang ber menggunakan struktur komite.
6. Contoh organisasi yang menggunakan struktur komite.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Struktur Komite
Pengertian organisasi adalah:
1. Gomesz-Mejia, dkk (2004), struktur organisasi merupakan hubungan formal dan informal antar anggota suatu organisasi.
2. Robbins (2004) menjelaskan tentang bagaimana suatu tugas atau pekerjaan secara formal dibagi, dikelompokkan dan dikoordinasikan.
3. Thompson dan Strickland (1993) berpendapat bahwa struktur organisasi yang tepat bagi suatu organisasi sangat tergantung pada strategi bisnis yang dipilih.
Stuktur organisasi digolongkan menjadi Struktur Garis, Struktur Garis dan Staff, Struktur Fungsional, Struktur Produk, Struktur Komite, Struktur Matriks. Saat ini kami akan membahas tentang struktur komite.
Organisasi komite adalah bentuk organisasi di mana tugas kepemimpinan dan tugas tertentu dilaksanakan secara kolektif oleh sekelompok pejabat, yang berupa komite atau dewan atau board dengan pluralistik manajemen.
Oragnisasi komite sering disamakan dengan istilah panitia, komisi, gugus tugas (task force atau task group). Terlepas dari istilah mana yang dipakai, pada dasarnya semua istilah itu mengandung pengertian yang sama, yaitu sekelompok orang yang ditunjuk untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan khusus yang tidak dapat diselesaikan seorang pejabat atau oleh beberapa orang (dewan).
Wewenang yang dimiliki oleh komite berbeda-beda. Ada komite yang mempunyai wewenang untuk mengambil fungsi-fungsi manajemen dan ada pula komite yang tidak mempunyai wewenang untuk membuat keputusan. Ada komite yang berhak membuat keputusan, tetapi ada pula yang tetrikat pada suatu masalah yang dihadapi tanpa mempunyai wewenang untuk membuat kleputusan. Ada koimite yang bertugas memberikan rekomendasi kepada pimpinan/manajer. Dapat dikatakan bahwa wewenang yang diberikan kepada komite ada berbagai macam.

Sabtu, 03 April 2010

Makalah Interaksi Sosial dan Pendidikan sebagai Proses Sosial Budaya

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu dengan kelompok dan antara kelompok dengan kelompok.
Interaksi sosial merupakan proses komunikasi diantara orang-orang untuk saling mempengaruhi perasaan, pikiran dan tindakan.
Interaksi sosial akan berlangsung apabila seorang individu melakukan tindakan dan dari tindakan tersebut menimbulkan reaksi individu yang lain. Interaksi sosial terjadi jika dua orang atau lebih saling berhadapan, bekerja sama, berbicara, berjabat tangan atau bahkan terjadi persaingan dan pertikaian.
Pendidikan adalah suatau proses pengembangan kepribadian. VISI pendidikan nasional adalah terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Untuk menggapai tercapainya visi ini, ditetapkan serangkaian prinsip penyelenggaraan pendidikan untuk dijadikan landasan dalam pelaksanaan reformasi pendidikan. Salah satu prinsip yang ditetapkan adalah pendidikan diselenggarakan sebagai proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Sosial dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Struktur sosial masyarakat dan kebudayaan adalah suatu konteks, suatu lingkungan dan segala sesuatu yang berada di dalamnya akan dapat dimengerti.
B. Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah pada makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian interaksi sosial.
2. Mengetahui syarat-syarat terjadinya interaksi sosial.
3. Mengetahui bentuk-bentuk interaksi sosial.
4. Mengetahui esensi pendidikan sebagi proses sosial budaya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses Sosial dan Interaksi Sosial
Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang-perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentu-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang terlah ada. Proses sosial dapat diartikan sebagai pengaruh timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh-mempengaruhi antara sosial dengan politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan hukum, dst. Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interkasi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama.

Kontribusi gejala Jiwa pada pembelajaran di kelas

Mengapa gejala jiwa berkontribusi pada proses pembelajaran di kelas?
Faktor gejala jiwa bisa mempengaruhi kualitas kemampuan belajar seseorang. Misalnya:
Pengindraan. Penginderaan adalah proses masuknya stimulus ke dalam alat indra manusia. Setelah stimulus masuk ke alat indra manusia, maka otak akan menerjemahkan stimulus tersebut. Kemampuan otak untuk menerjemahkan stimulus seseorang satu sama lain berbeda-beda, tidak semua stimulus dapat diindra. Begitu pula pelajaran yang disampaikan pengajar tidak semua bisa ditangkap oleh seseorang, persepsi pun akan berlainan. Pengindraan sangat berkontribusi dalam proses pembelajaran untuk menangkap sepenuhnya stimulus yang diberikan oleh pengajar dan sebaliknya. Maka dari itu, diperlukan ukuran stimulus yang cukup untuk di indra, alat indra yang sehat, dan adanya perhatian penuh dalam proses belajar mengajar agar materi apa yang disampaikan oleh pengajar dapat diindra/ditangkap sepenuhnya oleh seorang mahasiswa. Posisi mahasiswa yang baik dalam belajar serta suasana kondusif juga mendukung lebih mudahnya materi terserap.
Persepsi. Persepsi berkontribusi dalam proses pembelajaran, karena dalam proses ini terjadi proses aktif seseorang dalam memilah, mengelompokkan, serta memberi makna pada informasi yang di terimanya. Jika persepsi seorang mahasiswa tentang suatu stimulus/materi dari pengajar sesuai dengan apa yang dimaksudkan, tentunya hal ini akan memudahkan proses belajar seseorang kedepannya.
Dalam teori Gestalt ada yang disebut prinsip “Figure and Ground”. Prinsip ini menggambarkan bahwa manusia, secara sengaja maupun tidak, memilih dari serangkaian stimulus, mana yang menjadi fokus atau bentuk utama (figure) dan mana yang menjadi latar (ground).
Memori. Memori sangat penting untuk menyimpan dan mengingat kembali materi-materi dalam proses pembelajaran. Memori yang semakin baik dan kinerja optimalnya akan mempermudah proses belajar seseorang. Jika seseorang kesulitan dalam menyimpan suatu materi yang ia dapatkan dan kesulitan untuk memunculkan kembali materi dalam ingatanya, tentunya hal ini akan beresiko terhadap kemampuan belajar dan prestasinya.
Memori adalah kemampuan untuk memasukkan, menyimpan, dan memunculkan kembali informasi yang kita terima sehingga dapat digunakan dimasa yang akan datang. Apabila informasi yang telah disimpan tidak dapat dipanggil kembali atau perlu waktu untuk mengingatnya kembali, berarti terjadi apa yang dinamakan dengan lupa. Hal inilah yang sering menjadi hambatan dalam proses belajar
Berpikir. Berpikir adalah gejala jiwa yang sangat penting dalam proses pembelajaran, karena dalam berpikir terjadi berbagai bentuk gejala jiwa yang lain seperti penginderaan, persepsi dan memori untuk memecahkan suatu masalah. Masalah di sini bisa kita analogikan dengan pelajaran yang disampaikan oleh pendidik. Kemampuan berpikir siswa dengan mengandalkan kemampuan dalam mengindra, memberikan persepsi pada stimulus, dan memaksimalkan memori inilah yang juga mempengaruhi kemampuan belajar. Semakin baik kualitas berpikir seseorang tentunya juga menghasilkan kualitas penyelesaian masalah yang semakin baik pula.
Untuk memaksimalkan kemampuan belajar hendaknya kita juga mengoptimalkan proses berfikir. 5. Intelegensi. Setelah kita membahas tentang berpikir, maka kaitan dengan masalah berpikir adalah inteligensi. Ada beberapa pendapat tentang pengertian inteligensi, secara umum inteligensi adalah kesanggupan untuk berpikir. Inteligensi sangat berhubungan dengan kesanggupan (kemampuan) berpikir seseorang, seseorang berbuat inteligen kalau dalam situasi yang tertentu dapat berbuat dengan tepat. Artinya, dalam memecahkan kesulitan-kesulitan dan soal-soal yang terdapat dalam situasi itu, ia dapat menyesuaikan diri kepada situasi yang baru.

PENINGKATAN INTERAKSI SOSIAL ANTARA MASYARAKAT KAYA DAN MISKIN

http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/1809953-interaksi-sebagai-proses-sosial/
Kata kunci: interaksi sosial, masyarakat kaya dan miskin. Oleh Elzain Pasha, 07 Maret 2008.
(Studi Pada Majelis Taklim Silaturahmi di Kelurahan Segalamider, Kecamatan Tanjung Karang Barat, Kota Bandar Lampung).
Kelurahan Segalamider mempunyai pola interaksi dan hubungan kemasyarakatan yang beragam. Disana ditemukan adanya kesenjangan interaksi sosial antara masyarakat kaya dan masyarakat miskin. Hal ini bisa dilihat dari tidak saling mengenalnya antar masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah yang tidak begitu luas, dikarenakan kelompok masyarakat yang satu mempunyai anggapan bahwa tidak ada kecocokan untuk berinteraksi dengan anggota kelompok yang lain.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesenjangan interaksi sosial antara masyarakat kaya dan miskin, upaya-upaya yang dilakukan oleh Majelis Taklim Silaturahmi (MTS) dalam meningkatkan interaksi sosial antara masyarakat kaya dan miskin, dan hambatan-hambatan yang dihadapi MTS dalam meningkatkan interaksi sosial antara masyarakat kaya dan miskin di lingkungan MTS Kelurahan Segalamider, Kecamatan Tanjung Karang Barat, Kota Bandar Lampung.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode studi kasus yang dilaksanakan di Kelurahan Segalamider khususnya pada masyarakat lingkungan MTS dengan mengambil empat orang sebagai informan. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Setelah data terkumpul dilakukan analisa data kualitatif melalui tahap-tahap reduksi data, penyajian data, dan verifikasi.
Hasil penelitian dari keempat informan yang diteliti yaitu informan KH, AI, AR, dan BS menunjukkan bahwa rendahnya interaksi sosial antara masyarakat kaya dan miskin disebabkan oleh faktor agama, faktor sosial, faktor budaya, faktor ekonomi, dan faktor komunikasi. Dikarenakan faktor-faktor tersebut maka penafsiran makna dan tingkah laku cenderung menyimpang atau bertentangan, yang kemudian menghasilkan pertikaian antar kelompok masyarakat.
Dalam meningkatkan interaksi sosial MTS melakukan berbagai macam upaya, yakni (1) meningkatkan pengetahuan agama masyarakat dan menghilangkan anggapan yang menyebabkan kesenjangan, (2) menciptakan suasana yang dapat mengacu pada proses akomodasi (penyelesaian daripada suatu masalah), dan (3) menciptakan suatu pola interaksi sosial yang baru, yaitu, masyarakat mulai membiasakan menyelesaikan semua urusan ataupun masalah dengan cara musyawarah yang selama ini sangat jarang sekali mereka lakukan, misalkan ada dua orang warga yang berkelahi dikarenakan kesalahpahaman, penyelesaian daripada konflik yang terjadi ialah dengan cara musyawarah. Dengan demikian diharapkan tercipta suasana yang lebih baik di kalangan masyarakat, yakni yang mulanya berbentuk pertentangan dapat berakhir dengan kerja sama.
Bentuk hambatan yang dihadapi MTS dalam meningkatkan interaksi sosial ialah (1) respon warga terhadap kegiatan yang diadakan, (2) pengaruh dana terhadap kegiatan, (3) pengaruh tingkat pendidikan pengurus dan anggota MTS terhadap peningkatan interaksi sosial, dan (4) minimnya materi mengenai ukhuwah Islamiyah dan keterbatasan waktu dari pengurus MTS.
Analisis:
Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial (yang juga dapat dinamakan sebagai proses sosial), karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya.

Hubungan 7 unsur budaya dengan 3 wujudnya..

Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.
1. Gagasan (Wujud ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak yang terletak di alam pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku.
2. Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.
3. Artefak (karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan.
Menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur kebudayaan universal, yaitu:
1. Sistem religi yang meliputi: sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan, dan upacara keagamaan.
2. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: kekerabatan, asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan, sistem kesatuan hidup, perkumpulan.
3. Sistem pengetahuan meliputi pengetahuan tentang: flora dan fauna, waktu, ruang dan bilangan, tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia.
4. Bahasa yaitu alat untuk berkomunikasi berbentuk: lisan dan tulisan.
5. Kesenian yang meliputi: seni patung/pahat, relief, lukis dan gambar, rias, vocal, music, bangunan, kesusastraan, dan drama.
6. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi yang meliputi: berburu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan, dan perdagangan.
7. Sistem peralatan hidup atau teknologi yang meliputi: produksi, distribusi, transportasi, peralatan
komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk wadah, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung
dan perumahan, dan senjata.
Tujuh Unsur Budaya dan Hubungannya dengan Tiga Wujudnya:

tradisi dan keArifan lokal yang ada di Sulawesi

Tradisi

1. Sulawesi Utara

a. Tradisi Binarundak Tandai Puncak Lebaran

Bagi warga Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, lebaran selalu identik dengan tradisi Binarundak atau tradisi bakar nasi jaha secara massal. Tradisi yang sudah berlangsung secara turun temurun ini, ternyata menjadi motivasi tersendiri bagi para perantau yang mudik pada saat lebaran.

Nasi jaha adalah salah satu makanan khas Sulawesi Utara, berbahan dasar beras ketan dan santan, yang dimasak dengan cara dipanggang, setelah sebelumnya diisi kedalam batang bambu berlapis daun pisang. Dalam tradisi yang digelar beberapa hari sebelum Idul Fitri ini, warga membakar nasi jaha di sepanjang jalan depan rumah mereka atau di lapangan terbuka. Di puncak acara, nasi jaha yang sudah matang kemudian dinikmati beramai-ramai bersama warga lainnya dengan diiringi tabuhan musik rebana serta alunan syair-syair pujian serta doa syukur. Kegiatan ini pun menjadi ajang silaturahmi, bermaaf-maafan dan ajang reuni bagi para perantau dengan sahabat lama, setelah sekian lama berpisah.

b. Tradisi Memindahkan Rumah (Merawale)

Tradisi memindahkan rumah, oleh masyarakat Minahasa dikenal dengan sebutan Merawale. Rumah yang dipindahkan itu tanpa harus dibongkar, namun secara utuh digotong secara bersama-sama. Tradisi ini telah turun temurun dilakukan oleh masyarakat Minahasa.

Masyarakat di Kelurahan Bitung – Amurang Minahasa Selatan rupanya masih ada yang mempertahankan tradisi merawale ini. Kebersamaan dalam kehidupan sosial di Minahasa, salah satunya diwujudkan dengan tradisi merawale. Baik anak-anak, remaja, pemuda maupun orang tua terlibat dalam tradisi ini tanpa memandang status sosial.

Merawale biasanya dikomandoi oleh seseorang agar rumah yang akan dipindahkan dapat diangkat secara lebih mudah. Merawale juga adalah simbol kepolosan dan rasa kebersamaan masyarakat tanpa rekayasa dalam kehidupan sosial di Minahasa. Siapa saja yang terlibat dalam merawale tidak dibayar dengan uang, akan tetapi hanya mendapat ucapan terima kasih dari yang empunya rumah. Salah satu bentuk ucapan terima kasih diwujudkan dengan diberikan sajian minuman seperti teh manis, kopi, dan air putih; rokok, atau kue seperti kue cucur, onde-onde dan nasi jaha.

2. Gorontalo

a. Tradisi Mandalengo Gorontalo

Ribuan warga Kota dan Kabupaten Gorontalo memadati jalan raya dan obyek wisata, untuk memeriahkan tradisi jalan pagi yang biasa dilakoni saat bulan Ramadan tiba. Tradisi jalan pagi atau mondalengo tersebut, biasanya dilakukan saat minggu pertama bulan puasa setelah makan sahur, dengan mengunjungi tempat tertentu.

Di obyek wisata Benteng Otanaha, Kota Gorontalo, warga berbodong-bondong menaiki ribuan anak tangga padahal pada hari-hari biasa, obyek wisata bersejarah tersebut jarang dikunjungi warga karena tempatnya yang cukup berbahaya untuk dijangkau. Meski harus mengeluarkan tenaga dan keringat, namun warga mengaku tak khawatir akan merasa haus sebelum buka puasa.

b. Tumbilotohe, Tradisi Gorontalo Ratusan Tahun.

Tumbilotohe merupakan tradisi masyarakat daerah Gorontalo pada 3 malam terakhir bulan puasa ramadhan. Tradisi ini telah berlangsung selama ratusan tahun sejak abad ke-15.

Tumbilotohe sesuai dengan namanya "tumbilo (pasang)" dan "tohe (lampu)", yaitu acara menyalakan lampu. Lampu yang digunakan sekarang adalah lampu minyak yang umumnya terbuat dari botol atau kaleng bekas yang bagian tutupnya dipasangi sumbu. Sumbu yang dipakai adalah sumbu kompor. Konon zaman dulu memakai damar, lalu menjadi minyak kelapa, sekarang minyak tanah. Lampu-lampu ini dipasang berjejer di depan rumah, di pagar, maupun di pinggir jalan. Jumlahnya pun beragam, tergantung luas halaman rumah & pemilik rumah. Bila ada sponsor jangankan halaman rumah, sawah pun dipasangi lampu.

c. Mutimualo, Tradisi Mandi Bersama Masyarakat Gorontalo

Mandi bersama Mutimualo. Jika salah satu anggota keluarga masyarakat Gorontalo ada yang meninggal dunia dan menimbulkan kesedihan mendalam, dalam situasi seperti itu, keluarga Gorontalo biasanya segera menyelenggarakan tradisi Mutimualo. Prosesi itu dilakukan tepat tujuh hari sejak meninggalnya anggota keluarga yang bersangkutan. Caranya, seluruh anggota keluarga yang ditinggalkan mandi bersama. Tidak sembarang mandi, acara itu harus dilakukan pemuka adat. Satu demi satu anggota keluarga mendapat siraman air dari sang pemuka adat.

Ada kepercayaan, kesedihan akibat kehilangan anggota keluarga bisa larut dalam air yang disiramkan saat mandi. Selain itu, selesai mandi, badan terasa segar sehingga pikiran segar dan kesedihan pun terhapuskan.

Ada beberapa aturan yang harus diterapkan saat Mutimualo. Selain harus dilaksanakan saat tujuh hari meninggalknya sang anggota keluarga, lebih afdol jika prosesinya dilakukan sore. Sebelumnya, pihak keluarga harus menyediakan tiga butir kelapa yang belum dikupas. Ketiga butir kelapa itu diikat untuk kemudian dijadikan tempat duduk bagi suami atau istri yang ditinggalkan sang mendiang.

Anggota keluarga lainnya menyediakan daun puring, sisiru, parang, serta sebutir kelapa yang telah dikupas. Setelah semua perlengkapan tersedia, seluruh anggota keluarga berjalan bersama meninggalkan rumah menuju sungai yang menjadi lokasi prosesi.Saat keluar rumah, mereka harus lewat pintu depan dan saat kembali dari prosesi harus masuk lewat pintu belakang. Yang unik, saat mereka masuk ke rumah, ada orang yang mengagetkan mereka dengan memukul-mukul benda sebagai bunyi-bunyian. Di tengah prosesi mandi bersama itu, baju anggota keluarga yang sudah meninggal dihanyutkan. Baju-baju tersebut disertakan pada benda-benda lain yang sudah disiapkan untuk dihanyutkan.

3. Sulawesi Tengah

Banyak kelompok etnis mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di antara etnis tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat.

Rumah tradisional Sulawesi Tengah terbuat dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang hanya memiliki satu ruang besar. Lobo atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan Tambi merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri.

Buya atau sarung seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang dan keraba semacam blus yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropa. Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang yang diselip di pinggang melengkapi pakaian adat.

Kesenian

Musik dan tarian di Sulawesi Tengah bervariasi. Musik tradisional memiliki instrume seperti suling, gong dan gendang. Alat musik ini lebih berfungsi sebagai hiburan dan bukan sebagai bagian ritual keagamaan. Di wilayah beretnis Kaili sekitar pantai barat - waino - musik tradisional - ditampilkan ketika ada upacara kematian. Kesenian ini telah dikembangkan dalam bentuk yang lebih populer bagi para pemuda sebagai sarana mencari pasangan di suatu keramaian. Banyak tarian yang berasal dari kepercayaan keagamaan dan ditampilkan ketika festival.

Tari masyarakat yang terkenal adalah Dero yang berasal dari masyarakat Pamona, kabupaten Poso dan kemudian diikuti masyarakat Kulawi, kabupaten Donggala. Tarian dero khusus ditampilkan ketika musim panen, upacara penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu. Dero adalah salah satu tarian dimana laki-laki dan perempuan berpegangan tangan dan membentuk lingkaran. Tarian ini bukan warisan leluhur tetapi berawal dari kebiasaan selama pendudukan jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II.

4. Sulawesi Barat

a. Budaya Maritim : Sandeq dan Kearifan Lokal Suku Mandar

Majene di Sulawesi Barat etnis Mandar. Di era 1930-1980, Majene dikenal sebagai kampungnya pelaut ulung berperahu sandeq. Sandeq adalah perahu layar tradisional khas Mandar. Sekilas, sandeq terkesan rapuh, tetapi di balik itu ternyata tersimpan kelincahan, tangguh mengarungi laut lepas Selat Makassar antara Sulawesi dan Kalimantan.. Panjang lambungnya 7-11 meter dengan lebar 60-80 sentimeter. Di kiri-kanannya dipasang cadik dari bambu sebagai penyeimbang.

Sandeq mengandalkan dorongan angin yang ditangkap layar berbentuk segitiga. Layar itu mampu mendorong sandeq hingga kecepatan 20 knot. Kecepatan maksimum melebihi laju perahu motor seperti katinting, kappal, dan bodi-bodi.

Sandeq juga sanggup bertahan menghadapi angin dan gelombang saat mengejar kawanan ikan tuna. Para pembuat sandeq tampaknya sangat cermat merancang perahu yang tangguh untuk memburu kawanan ikan. Sebab, Teluk Mandar memang langsung berhadapan dengan laut dalam tanpa penghalang, dengan angin kencang dan gelombang besar.

Sandeq harus bisa melaju cepat mengejar kawanan tuna yang sedang bermigrasi. Saat musim ikan terbang bertelur, nelayan menggunakan sandeq untuk memasang perangkap telur dari rangkaian daun kelapa dan rumput laut.

Dilombakan. Saat libur melaut karena kendala cuaca, nelayan Mandar biasa mengisi waktu dengan menggelar lomba sandeq. Dulu, lomba hanya mengadu kemampuan manuver. Setiap sandeq harus memutari area yang dibatasi tiga titik. Lomba ini membutuhkan kejelian membaca angin dan menentukan teknik manuver. Lomba sandeq masih bisa disaksikan hingga saat ini dalam Sandeq Race, seperti digelar pertengahan Agustus lalu dengan mengambil rute Mamuju di Sulawesi Barat ke Makassar di Sulawesi Selatan dengan jarak tempuh 300 mil laut. Sandeq Race merupakan usaha untuk melestarikan dan meneruskan budaya bahari Mandar yang terancam punah. Sandeq mengajarkan nelayan muda untuk membaca arus, membaca angin, serta ritual yang ada di dalamnya.

5. Sulawesi Selatan

a. Tana Toraja, Sulawesi Selatan-Tanah Kerajaan Surga



Tana Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu Tuka. Di Tana Toraja mayat tidak di kubur melainkan diletakan di Tongkonan untuk beberapa waktu. Jangka waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun sampai keluarganya memiliki cukup uang untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si mayat. Setelah upacara, mayatnya dibawa ke peristirahatan terakhir di dalam Goa atau dinding gunung.

Tengkorak-tengkorak itu menunjukan pada kita bahwa mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya diletakan di batuan, atau dibawahnya, atau di dalam lubang. Biasanya. musim festival pemakaman dimulai ketika padi terakhir telah dipanen. Biasanya akhir Juni atau Juli, dan paling lambat bulan September.

Dalam kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Sesuai mitos yang hidup di kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia pada akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan), yang bersangkutan tidak dapat mencapai puyo. Jiwanya akan tersesat.

"Agar jiwa orang yang ’bepergian’ itu tidak tersesat, tetapi sampai ke tujuan, upacara yang dilakukan harus sesuai aluk dan mengingat pamali. Ini yang disebut sangka’ atau darma, yakni mengikuti aturan yang sebenarnya. Kalau ada yang salah atau biasa dikatakan salah aluk (tomma’ liong-liong), jiwa orang yang ’bepergian’ itu akan tersendat menuju siruga (surga)," kata Tato’ Denna’, salah satu tokoh adat setempat.

Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban persembahan untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.

Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan kapan dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi tomebali puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga.

Semakin sempurna upacara pemakaman seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo tadi.

To na indanriki’ lino

To na pake sangattu’

Kunbai lau’ ri puyo

Pa’ Tondokkan marendeng

Kita ini hanyalah pinjaman dunia yang dipakai untuk sesaat. Sebab, di puyo-lah negeri kita yang kekal. Di sana pula akhir dari perjalanan hidup yang sesungguhnya.
Bisa dimaklumi bila dalam setiap upacara kematian di Tana Toraja pihak keluarga dan kerabat almarhum berusaha untuk memberikan yang terbaik. Caranya adalah dengan membekali jiwa yang akan bepergian itu dengan pemotongan hewan-biasanya berupa kerbau dan babi-sebanyak mungkin. Para penganut kepercayaan Aluk Todolo percaya bahwa roh binatang yang ikut dikorbankan dalam upacara kematian tersebut akan mengikuti arwah orang yang meninggal dunia tadi menuju ke puyo.

Kepercayaan pada Aluk Todolo pada hakikatnya berintikan pada dua hal, yaitu padangan terhadap kosmos dan kesetiaan pada leluhur. Masing-masing memiliki fungsi dan pengaturannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jika terjadi kesalahan dalam pelaksanaannya, sebutlah seperti dalam hal "mengurus dan merawat" arwah para leluhur, bencana pun tak dapat dihindari.

Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal luas itu-kini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya. Bahkan, dalam tradisi penyimpanan mayat dan upacara kematian, terjadi semacam "penambahan" dari yang semula lebih sederhana menjadi kompleks dan terkadang berlebihan.

Sebagai contoh, ajaran Aluk Todolo menghendaki agar orang yang meninggal dunia harus segera diupacarakan dan secepatnya dikuburkan. Maksud dari ajaran ini supaya keluarga yang ditinggalkan dapat melaksanakan upacara-upacara lain yang bersifat kegembiraan. Sebab, adalah pamali atau melanggar ketentuan aluk bila upacara kegembiraan (rambu tuka’) dilaksanakan bila ada orang mati (to mate). Untuk mengatasi hal yang berlawanan ini, masyarakat Tana Toraja lalu mengatakan, mayat tersebut belum mati, tetapi dianggap sebagai orang yang masih sakit (to makula). Dengan begitu, mereka yang ingin melaksanakan upacara rambu tuka’ tidak terhalang hanya karena ada mayat di kampung tersebut.

b. Tradisi Megalitik pada Makam Islam di Jeneponto Sulawesi Selatan

Pemujaan terhadap arwah nenek moyang (ancestor worship) merupakan ciri khas dari tradisi megalitik, bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat pendukungnya. Pemujaan terhadap arwah nenek moyang dari tradisi megalitik, dilatar belakangi oleh anggapan bahwa nenek moyang yang meninggal itu masih hidup di dunia arwah. Arwah juga diyakini bersemayam di tempat-tempat tertentu yang dianggap suci, seperti gunung-gunung yang tinggi dan sebagainya. Prinsip inilah yang tinggi dan segenap monumen-monumen megalitik, baik yang sudah tidak berfungsi maupun yang masih berfungsi.

Di sulawesi selatan, peninggalan megalitik tersebar hampir di berbagai daerah. Tradisi hingga sekarang masih terus berlangsung dalam kehidupan masyarakatnya. Sebagai contoh di toraja, hingga saat ini penduduk setempat masih sering mendirikan menhir (simbuang). Simbuang tersebut ada kalanya dibuat dari batu maupun dari batang kayu, batang pinang dan bahkan batang bambu. Pelaksanaan pendirian simbuang ini erat kaitanya dengan kepercayaan aluk to dolo, yaitu kepercayaan lama yang berorientasi kepada pemujaan arwah.

c. Proses Pembuatan Songkok To Bone

Songkok Recca’ terbuat dari serat pelepah daun lontar dengan cara dipukul-pukul (dalam bahasa Bugis : direcca-recca) pelepah daun lontar tersebut hingga yang tersisa hanya seratnya. Serat ini biasanya berwarna putih, akan tetapi setelah dua atau tiga jam kemudian warnanya berubah menjadi kecoklat-coklatan. Untuk mengubah menjadi hitam maka serat tersebut direndam dalam lumpur selama beberapa hari. Jadi serat yang berwarna hitam itu bukanlah karena sengaja diberi pewarna sehingga menjadi hitam. Serat tersebut ada yang halus ada yang kasar, sehingga untuk membuat songkok recca’ yang halus maka serat haluslah yang diambil dan sebaliknya serat yang kasar menghasilkan hasil yang agak kasar pula tergantung pesanan.

Untuk menganyam serat menjadi songkok menggunakan acuan yang disebut Assareng yang terbuat dari kayu nangka kemudian dibentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai songkok. Acuan atau assareng itulah yang digunakan untuk merangkai serat hingga menjadi songkok. Ukuran Assareng tergantung dari besar kecilnya songkok yang akan dibuat.

Songkok recca’ (songkok to Bone) menurut sejarah, muncul dimasa terjadinya perang antara Bone dengan Tator tahun 1683. Pasukan Bone pada waktu itu menggunakan songkok recca’ sebagai tanda untuk membedakan dengan pasukan Tator.

Pada zaman pemerintahan Andi Mappanyukki (raja Bone ke-31), songkok recca dibuat dengan pinggiran emas (pamiring pulaweng) yang menunjukkan strata sipemakainya. Akan tetapi lambat laun hingga sekarang ini siapapun berhak memakainya. Bahkan beberapa kabupaten di Sulawesi memproduksinya sehingga dapat dikatakan, bahwa songkok recca yang biasa juga disebut sebagai Songkok To Bone yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa orang Bone tersebut mendapat apresiasi baik dari masyarakat Sulawesi maupun Indonesia pada umumnya.

Di Kabupaten Bone Songkok Recca/Songkok To Bone diproduksi di Desa Paccing Kecamatan Awangpone. Di daerah tersebut terdapat terdapat komunitas masyarakat secara turun temurun menafkahi keluarganya dari hasil prosese mengayam pelepah daun lontar ini yang disibut Songkok Recca atau Songkok To Bone.

6. Sulawesi Tenggara

a. Sejarah Tradisi Tenun di Masyarakat Buton

Tenun sebagai tradisi di Buton, diperkirakan sudah ada sejak Buton abad ke-14. Itu bisa dilihat dari artefak sejarah yakni kampua, jenis tenun yang menjadi mata uang pada masa itu.

Inilah hal yang mencengangkan sebab tenun bukan cuma untuk pakaian sehari-hari atau penanda identitas. Kain juga menjadi alat tukar yang digunakan. Pada masa lampau, peredaran luas kain-kain Buton dari sultan dan keluarga bangsawan dalam kesultanan, yang disebut dengan istilah tanet, yang digunakan sebagai surat berharga yang secara kebudayaan bisa diterima sebagai alat tukar untuk aktivitas perdagangan bahkan sampai ke Papua merupakan testimoni atas kebesaran Buton di masa lampau. Mata uang tersebut juga disebut kampua. Mengacu pada catatan sejarah, pada abad ke-14, telah terjadi menggunakan mata uang Kampua, dan beredar hingga tahun 1951.

Pada masa itu, nilai tukar satu mata uang sama dengan satu butir telur. Kemudian sesuai kondisi perekonomian nilainya pun berubah pula. Kemudian di tahun 1851, datanglah Pemerintah Kolonial Belanda menjajah pulau Sulawesi dan memasuki Buton. Gubernur Jenderal VOC Pieter Both menggusur kampua dengan mata uang Golden milik Belanda. Namun hanya di daerah-daerah tertentu saja. Di daerah pelosok Buton, kampua masih digunakan untuk bertransaksi. Hingga akhirnya pada tahun 1851 mata uang kampua ini diberhentikan peredarannya.

Seiring dengan datangnya agama Islam melalui pesisir, maka tenun sutra mengalami modifikasi menjadi tenun ikat seperti sarung, yang dikenakan untuk kegiatan keagamaan. Melalui perdagangan itu, terjadi alih pengetahuan dan dialog kebudayaan sehingga tenun –sebagai tradisi yang datang dari luar-- bisa diterima menjadi bagian dari kebudayaan Buton. Sejak masuknya tenun, banyak lahir benda-benda kebudayaan atau artefak yang menggunakan kain sebagai bahannya, mulai dari pakaian, tenun kerajaan, hingga jenis-jenis ikat kepala maupun sarung yang dikenakan hanya pada momentum tertentu. Tenun kemudian identik dengan kain berkualitas tinggi yang banyak dikenakan keluarga raja dan bangsawan. Meski demikian, kain juga dikenakan secara luas oleh rakyat jelata dengan motif dan desain khusus, yang dikembangkan sejak masa silam.

b. LULO, Tari Tradisional SulawesiTenggara

Lulo merupakan tarian tradisional masyarakat Tolaki di kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Tolaki merupakan salah satu suku terbesar di Sulawesi Tenggara selain Suku Buton dan Suku Muna. Biasanya, tarian ini dimainkan sebagai pertunjukan hiburan ketika merayakan kebahagiaan, tarian menyambut kedatangan tamu kehormatan serta promosi budaya Sulawesi Tenggara. Dulu, fungsi tari Lulo tidaklah seperti sekarang. Nenek moyang suku Tolaki memainkan tarian ini hanya ketika mereka menyelenggarakan upacara adat panen padi, pelantikan raja, serta pesta pernikahan.

Ketika upacara panen padi, Lulo merupakan ritual untuk memuja dewa padi yang diyakini sebagai pemberi kesuburan. Ketika dimainkan saat pesta pernikahan dan pelantikan raja, Lulo menjadi tarian persahabatan antar warga Tolaki dan media untuk mencari jodoh. Itulah mengapa, penari Lulo ketika itu hanyalah warga yang belum mempunyai pasangan atau yang belum menikah. Tak hanya itu, pihak lelaki diwajibkan untuk terlebih dahulu bertanya kepada calon wanita yang akan dijadikan pasangan menari.

Jika pada saat pertunjukan akan berlangsung, pihak wanita menolak untuk diajak menari bersama, lelaki itu wajib membayar denda yakni menyembelih seekor kambing dan 2 lembar kain sarung untuk nantinya dibagikan kepada warga sekitar. Aturan ini tidak berlaku, jika pihak wanita mengajak lelaki terlebih dahulu namun si lelaki menolaknya. Namun kini, tidak demikian. Siapa saja dapat menjadi penari Lulo dan ikut serta menari bersama ketika pertunjukan Lulo berlangsung.

Gerakan yang penuh suka ria diiringi musik dari gong, kulintang yang terbuat dari bambu, serta kendang. Jumlah penari Lulo bervariasi, pada awal pertunjukan, penari Lulo hanya terdiri dari beberapa pasang lelaki dan wanita dan akan bertambah di tengah pertunjukkan.

Sekilas, gerakan tari Lulo terlihat relatif sederhana. Mulai dari awal hingga pertunjukan usai, para penari Lulo membentuk lingkaran, menari sambil bergandengan tangan dengan posisi telapak tangan wanita berada di atas telapak tangan penari lelaki. Bagi warga Tolaki, posisi tangan wanita yang berada diatas tangan lelaki memiliki makna setiap lelaki berkewajiban untuk melindungi wanita. Perpaduan gerak ketika penari Lulo berputar dalam sebuah lingkaran dengan posisi tangan tetap saling bergandengan menjadi daya tarik tersendiri dari pertunjukan Lulo.

Kearifan Lokal

1. Kearifan lokal Suku Bajo, Manusia Perahu.

Di tengah kesibukan para ilmuwan mencari solusi dari perubahan iklim, ternyata sebagian jawabannya ada pada kearifan suku Bajo. Pasalnya, sejak lahir, keturunan suku Bajo sudah dikenalkan dengan kehidupan di atas permukaan air. Hal inilah yang ingin dipelajari dan diterapkan para ilmuwan menghadapi ancaman pulau-pulau tenggelam.

Suku Bajo merupakan sekumpulan orang yang menggantungkan hidupnya di laut. Seluruh aktivitas mereka dihabiskan di atas perahu. Karena itu, mereka dikenal dengan julukan suku nomaden laut. Jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas perahu diperkirakan semakin sedikit karena hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah panggung. Rumah panggung suku Bajo dibangun menggunakan bahan yang terbilang ramah lingkungan. Dindingnya terbuat kombinasi kayu dan anyaman bambu. Sedangkan bagian atap dari daun rumbia.

Di Desa Holimombo, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, suku Bajo sudah dapat beradaptasi dengan kehidupan modern. Di desa tersebut ada semacam balai-balai tempat berkumpul masyarakat untuk menonton televisi. Mereka menggunakan antena parabola untuk mendapatkan siaran dari berbagai stasiun televisi. Meski demikian, cara mereka menonton televisi tergolong hemat energi. Sebab, selalu dilakukan beramai-ramai. Mereka juga hanya menggunakan listrik pada malam hari saja.

Kehidupan suku Bajo modern juga dapat ditengok di perkampungan Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Di sana terdapat sekolah, madrasah, tempat peribadatan, pelelangan, dan penyimpanan ikan. Hidup orang bajo di Sama Bahari masih mengandalkan hasil laut. Mereka juga mendirikan tambak terapung dan bertani rumput laut.

Melestarikan Laut. Masyarakat bajo berprinsip bahwa laut adalah segalanya. Laut merupakan cermin dari kehidupan masa lalu, kekinian, dan harapan masa depan. Laut juga dianggap sebagai kawan, jalan, dan persemayaman leluhur. Karena dekat dengan kehidupan laut, bayi dari keturunan suku Bajo yang baru lahir sudah dikenalkan dengan laut.

Suku Bajo juga memiliki filosofi tentang kesakralan laut berbunyi, Papu manak ita lino bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana. Artinya, Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, manusia memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya.

Oleh karena itu, orang Baju melestarikan sumber daya laut dengan cara menanam bakau di kawasan pesisir pantai, seperti yang terjadi di Sinjai Timur, Sulawesi Selatan. Sepanjang pantai ditanami bakau hingga 800 meter yang menjurus ke laut. Upaya penanaman hutan bakau ini boleh dibilang siasat mitigasi. Selain itu, etnis bajo juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian terumbu karang sebagai penyangga ekosistem bawah laut, seperti di Kabupaten Wakatobi. Termasuk dalam menangkap ikan.

b. Suku Bugis

Suku Bugis merupakan penduduk asli Sulawesi Selatan. Kini suku Bugis menyebar pula di propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, bahkan hingga manca negara. Bugis merupakan salah satu suku yang taat dalam mengamalkan ajaran Islam. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis.

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani, nelayan, pedagang, pendidikan, dan birokrasi pemerintahan.

Pada abad ke-16 muncul perkembangan baru dalam sejarah perjalanan Bugis setelah agama Islam menjadi agama resmi kerajaan. Islam masuk di wilayah ini tidak melewati perang tetapi lewat jendela kebudayaan, itulah sebabnya persebaran Islam di Sulawesi Selatan sedemikian cepat dan pesat. Banyak ajaran Bugis yang sejalan dengan Islam: yang fitrah dan universal. Meskipun begitu, sisa-sisa agama lama tidaklah dapat dikikis begitu saja oleh Islam.

Meskipun orang-orang Bugis telah menjadi Islam dan beriman, tapi mereka masih memelihara sejumlah tradisi yang bersumber dari elemen-elemen pra-Islam, seperti bissu dan kitab suci La Galigo. Berbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandung spirit dan unsur-unsur yang sama diadaptasikan dan didialogkan yang kemudian memunculkan warna-warni kebudayaan Islam dengan wajah Bugis, atau kebudayaan Bugis dengan wajah Islam.

Tak heran kelau kemudian kita lantas menemukan doa para Bissu yang menyebut Patotoqé sebagai Dewata Séuawaé (dewata yang tunggal) yang diadopsi dari konsep Allah yang Maha Esa - padahal di dalam La Galigo, Dewa tidaklah tunggal, ia beranak-pinak - atau sebaliknya, kita menemukan konsep siriq yang kemudian diadaptasikan dengan konsep jihad. Puncak dari semua itu adalah dikukuhkannya Islam dalam sistem Pangngaderreng di Sulawesi Selatan yang merupakan falsafah hidup manusia Bugis, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ada 5 unsur yang saling mengukuhkan dalam konsep Pangngaderreng ini yaitu, 1) wariq (sistem protokoler kerajaan), 2) adeq (adat-istiadat), 3) bicara (sistem hukum), 4) rapang (pengambilan keputusan berdasarkan perbandingan), dan 5) saraq (syariat Islam). Empat dari yang pertama dipegang oleh Pampawa Adeq (pelaksana adat), sedangkan yang terakhir dipegang oleh Paréwa Saraq (perangkat syariat).

La Galigo sebagai kitab suci dan sumber religi bagi penganut agama To ri Olo orang Bugis mewariskan sejumlah tradisi yang saling kait-mengait dengan berbagai upacara suci dan sakral. Dalam upacara suci dan sakral itu selalu diiringi dengan pemotongan hewan dan pembacaan sureq La Galigo. Itulah kemudian yang dikenal dengan upacara: mappano bine (upacara menidurkan benih padi) menjelang tanam padi.; maccéraq tasiq upacara persembahan dewa laut, ménréq baruga upacara peresmian balairung tempat berlangsungnya upacara keduniaan berlangsung; mattemu taung mengunjungi dan menziarahi kuburan leluhur mereka, dan masih banyak lagi. Semua upacara itu dibarengi berbagai kesenian dan pembacaan episode-episode La Galigo yang episodenya disesuaikan dengan isi dan upacara yang berlangsung. Kesenian yang mengiringinya antara lain séré bissu (joget bissu) maggiriq (para bissu menari sambil menusuk badannya dengan badik) massureq (membaca La galigo), maggenrang (bermain gendang), massuling lontaraq (meniup suling diiringi nyanyian La Galigo), mallae-lae, dan sebagainya.

Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling melengkapi, yaitu: 1) Pendeta Bissu, pendeta banci yang bertugas memimpin upacara ritual, 2) sanro, praktisi di belakang layar yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara, dan 3) passureq, pembaca dan penembang La Galigo.

Karena itu, Bissu, sanro, passureq, dan para dewan adat adalah empat warga Bugis yang merupakan pemelihara dan pengawal La Galigo yang berada di garda paling depan yang siap mempertaruhkan apa saja demi kesucian ajaran La Galigo. Mereka pernah ditangkap bahkan dibunuh pada zaman DI-TII berkecamuk di Sulawesi Selatan, mereka pernah dipaksa menjadi Hindu atau dirazia melalui “operasi tobat” di zaman Orde Baru. Mereka tidak bergeming sedikitpun.

Apa yang telah dipaparkan di atas memperlihatkan bahwa religi, tradisi, dan seni dalam La Galigo di Sulawesi Selatan memperlihatkan suatu rangkaian sistem yang merupakan satu kesatuan struktural dan fungsional. Karya La Galigo itu sendiri sebagai teks yang berbentuk sastra tak perlu lagi diperdebatkan, konvensi sastranya yang 5 suku kata pada setiap larik yang mencapai ribuan bait, alurnya yang datar, kilas balik dan pembayangan, kompleksitas karakter tokohnya, dan kemasan temanya yang rumit membuat orang susah memahami bagaimana sebuah karya sastra lama ini memiliki semua dimensi sastra modern. Itulah yang menempatkannya sebagai warga sastra dunia.

d. Reinvensi Demokrasi dengan Penguatan Kearifan Lokal.

Sulawesi Selatan sangat kaya akan khazanah budaya, kecerdasan tradisional atau kearifan lokal yang banyak mengajarkan prinsip – prinsip demokrasi dalam politik dan kehidupan sosial kemasyarakatan.

Adalah Lamellong Kajao Laliddong, cendekiawan dan penasehat Arumpone La Uliyo Bote’E (1543-1568) dan La Tenrirawe Bongkangnge’ (1568-1584) menegaskan, “Duwa tanranna namaraja tanae, Ianaritu seuwani namalempu’ namacca arung mangkauE, madduwanna tessisala-salae”. (Dua tandanya negara dapat menjadi jaya. Pertama, Raja yang memerintah memiliki kejujuran serta kecerdasan. Kedua, di dalam negeri tidak terjadi perselisihan). Prinsip dasar yang diajarkan Lamellong Kajao Laliddong ini, kejujuran dan kecerdasan serta terciptanya kondisi keamanan ketertiban dalam negeri merupakan hal mendasar yang menjadi tujuan demokrasi, yaitu apa yang disebut sekarang ’good governance’.

Prinsip dasar ajaran Lamellong Kajao Lalliddong mengenai pelaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan inilah yang disebut “Inanna WarangparangngE” yaitu sumber kekayaan, kemakmuran, dan keadilan, yang wujudnya berupa Perhatian Raja terhadap rakyatnya harus lebih besar daripada perhatian terhadap dirinya sendiri, Raja harus memiliki kecerdasan yang mampu menerima serta melayani orang banyak serta keharusan raja (pemimpin) berlaku jujur dalam segala tindakan. Hal ini merupakan syarat yang dapat menghindarkan pemimpin, pengambil kebijakan dan pelaku birokrasi pemerintahan terhindar atau jauh dari tindakan korup dan kesewenang – wenangan.



e. Kearifan Lokal Masyarakat di Sekitar Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Palu, Sulawesi Tengah, dalam Pengelolaan Hutan dan Pemanfaatan Sumber Daya Ala Kearifan Lokal Masyarakat Toro

Toro berada dalam wilayah kecamatan Kulawi, Donggala, Sulawesi Tengah. Masyarakat adat Desa Toro, Desa Mataue dan Dataran Lindu yang hidup di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu merupakan masyarakat lokal yang telah memiliki kearifan tradisional warisan nenek moyang mereka dalam mengelola lanskap hutan dan memanfaatkan sumber daya alam di sekitar tempat tinggal mereka. Kearifan masyarakat lokal ini telah ada sebelum ditetapkannya kawasan ini menjadi taman nasional.

Masyarakat Toro memiliki pemerintahan sendiri yang mengatur segala bentuk kehidupan mereka, termasuk dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Dalam pemerintahannya ada tiga unsur yang sama tinggi, yaitu totua ngata, maradika, dan tina ngata. Ketiganya memiliki fungsi masing-masing tapi tidak berjalan sendiri-sendiri (Andrian, 2006).

Totua Ngata adalah dewan para totua kampung yang menjalankan kepemimpinan kolektif atas seganap urusan pemerintahan desa. Maradika adalah keturunan bangsawan yang dipilh oleh Totua Ngata dan berperan sebagai kepala suku dari masyarakat bersangkutan. Sedangkan Tina Ngata adalah ibu bagi masyarakat yang terbentuk atas dasar pengakuan masyarakat. Tina Ngata terbentuk karena peran perempuan yang penting bagi masyarakat, yaitu sebagai penyimpan adat dan pemilik otoritas pengeloaan warisan orang tua .

Sebelum adanya TNLL, masyarakat Toro sudah membagi alam menjadi zona-zona tertentu, di antaranya adalah:

1) Wana Ngkiki, merupakan zona inti atau hutan primer, dimana pada daerah ini tidak boleh dilakukan aktifitas eksploitasi hutan. Zona ini terletak pada ketinggian 1000 mdpl dengan luas 2300 Ha, didominasi oleh rerumputan, lumut, dan perdu. Zona ini dianggap sebagai sumber udara segar sehingga keberadaannya dianggap sangat penting. Wana, merupakan hutan primer yang merupakan habitat bagi hewan, dan tumbuhan langka. Selain itu juga merupakan zona tangkapan air.di zona ini setiap orang dilarang membuka lahan pertanian. Zona ini dimanfaatkan untuk kegiatan mengambil getah dammar, wewangian, obat-obatan, dan rotan. Seluruh sumber daya di zona ini dikuasai secara kolektif. Kepemilikan pribadi hanya berlaku pada pohon damar yang diberikan kepada orang yang pertama kali mengambil dan mengolah getah damar itu. Kawasan wana merupakan hutan yang terluas di wilayah adat Ngata Toro dengan luas 11.290 Ha.

2) Pangale, merupakan hutan bekas tebang (5-15 tahun yang lalu) yang telah mengalami suksesi kembali atau yang sudah dijadikan kebun dan lahan pertanian oleh masyarakat. Zona Pangale biasanya juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan kayu untuk bahan bangunan dan keperluan rumah tangga, pandan hutan untuk membuat tikar dan bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian. Kesemuanya harus berdasarkan izin dari lembaga adat atau pemerintah desa terlebih dahulu. Luas zona ini adalah 2950 Ha.

3) Pahawa Pongko, merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama 25 tahun ke atas, yang telah mengalami suksesi kembali atau yang sudah dijadikan kebun dan lahan pertanian oleh masyarakat.

4) Oma, merupakan hutan belukar yang terbentuk dari bekas kebun yang sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut masa rotasi dalam sistem peladangan bergilir. Di zona ini hak kepemilikan pribadi atas lahan diakui.

5) Pongata, merupakan wilayah pemukiman masyarakat, biasanya berada pada dataran yang lebih rendah.

6) Polidae, merupakan lahan usaha pertanian masyarakat, berupa sawah dan lahan pertanian kering.

Berdasarkan zona-zona tersebut masyarakat Toro membentuk sistem pengolahan tanah bergilir. Lahan hutan yang telah di buka disebut popangalea, orang yang membukanya pertama kali memiliki hak kepemilikan lahan. Lahan terbuka yang produktif disebut bone. Setelah beberapa kali masa tanam, kesuburan tanah akan menurun seiring dengan menurunnya nutrisi yang terkandung di dalam tanah, tanah jenis ini disebut balingkea. Apabila memungkinkan balingkea ditanami lagi untuk satu atau beberapa kali masa tanam (mobalingkea). Balingkea yang tidak ditanami lagi, dan ditinggalkan (1-25 tahun) untuk mengembalikan kesuburan tanah disebut Oma.

Selain itu, adat Toro juga melarang adanya perburuan terhadap Anoa (Anoa Quarlesi dan Anoa Deoressicornis), Babirusa (Babyrousa Babyrusa), Enggang (Alo/rangkong) (Rhyticeros Cassidix), Maleo (Macrochepalon Maleo). Hal ini dikarenakan Anoa merupakan hewan yang dilindungi dan dianggap sebagai hewan adat yang hanya boleh dimakan dalam upacara adat, Babirusa dilindungi karena bentuk fisiknya yang unik, Enggang dilindungi karena warnanya yang indah, sementara Maleo dilindungi karena telurnya yang unik.

Kearifan lokal masyarakat Toro dalam pemanfaatan sumber daya alam dapat terlihat dari kegiatan seperti dibawah ini:

Pembukaan Lahan. Dalam aturan masyarakat adat Toro, lahan yang dapat dibuka adalah oma, terutama Oma Ngura (telah ditinggalkan 3-5 tahun), dan Oma Ntua (telah ditinggalkan 5-25 tahun) sedangkan lahan yang tidak diperkenankan untuk dibuka dengan alasan apapun adalah Pangale. Setiap yang ingin membuka lahan diwajibkan mengajukan permohonan kepada pemerintah desa melalui LMA (Lembaga Masyarakat Adat) disertai alasan, lokasi yang akan dimanfaatkan dan luasan yang dibutuhkan. Setelah izin diberikan, pembukaan lahan harus didahului dengan upacara adat ”Mohamele manu bula”.

Pengambilan Kayu. Izin pengambilan kayu dikeluarkan apabila tujuan pemanfaatan semata-mata untuk kebutuhan domestik. Namun dalam perkembangannya, saat ini telah diperkenankan pula memanen kayu untuk bahan baku industri meubel dan kusen berskala lokal. setelah mendapatkan izin penebangan, terlebih dahulu harus dilakukan upacara adat ”Mowurera pu kau”. Selain itu perlu diperhatikan bahwa kayu yang ditebang berdiameter minimal 60 cm, dan tidak melakukan penebangan di daerah Taolo, yaitu lokasi yang bertopografi miring sepanjang daerah aliran sungai dan di tempat yang rawan longsor dan erosi.

Pemanenan Rotan (Calamus sp). Rotan yang akan dipanen harus berumur lebih dari tiga tahun, dan penetapan lokasi ditentukan oleh hasil musyawarah lembaga adat dengan memperhatikan prinsip rotasi (ra ombo). Selain itu, terdapat larangan untuk menarik rotan sepanjang daerah aliran sungai pada saat tanaman padi di sawah ataupun ladang mulai berbulir.

Masyarakat Toro hingga kini masih menjalankan tradisinya. Perusak hutan dan pemburu hewan yang dilindungi akan dikenakan hukum adat. Pada mulanya, hukuman adat yang diberikan berupa satu kerbau, satu kain besa, dan 10 dulang. Namun saat ini hukuman yang diberikan berupa denda uang disesuaikan dengan kesalahan yang ada. Dari keseluruhan kondisi hutan Lore Lindu, hutan di Toro termasuk hutan yang paling terlindungi. Perekonomian masyarakat Toro dapat berkembang tanpa harus merusak hutan ataupun alam. Kehidupan masyarakat Toro yang selaras dengan alam dapat menjadi contoh yang baik bagi masyarakat luas.

Kearifan Lokal Masyarakat Dataran Lindu. Enclave Lindu merupakan kawasan pemukiman yang terletak di dalam kawasan TNLL. Enclave Lindu yang terdiri dari empat desa, yaitu Puroo, Langko, Tomado, dan Anca, sering disebut sebagai dataran Lindu masih termasuk ke dalam Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Masyarakat dataran Lindu menyakini sebagai satu rumpun adat (etnik Lindu) yang mempunyai aturan terhadap lingkungan dataran kehidupannya. Seperti halnya dengan masyarakat Ngata Toro, masyarakat dataran Lindu telah membagi kawasan hutan di sekitar mereka ke dalam suaka-suaka/kawasan-kawasan, di antaranya adalah:

1) Suaka Maradika, merupakan zona inti hutan yang tidak diperbolehkan adanya eksploitasi.

2) Suaka Todea, merupakan zona hutan pemanfaatan, boleh dilakukan kegiatan pemanfaatan berdasarkan peraturan adat.

3) Suaka Tontonga, merupakan zona rimba yang pemanfaatannya sangat terbatas.

4) Suaka Lambara, merupakan daerah penggembalaan.

5) Suaka Parabata, merupakan zona khusus untuk pemanfaatan danau Lindu yaitu pengkaplingan pada lokasi ikan di tepi danau Lindu.

Selain dalam hal pengelolaan hutan, masyarakat adat Dataran Lindu pun memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya perairan. Masyarakat adat Dataran Lindu memberlakukan pelarangan (ombo) apabila ada salah satu tokoh masyarakat yang meningal dunia. Kearifan lokal ini harus tetap dilestarikan untuk mendukung upaya pengelolaan TNLL dalam menjaga dan melindungi kawasan agar tetap lestari dan berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu penguatan kelembagaan adat sangat penting untuk menjaga kearifan lokal masyarakat tetap eksis, sehingga dapat mengurangi tekanan masyarakat terhadap perubahan hutan.

Kearifan Lokal Masyarakat Mataue. Desa Mataue berbatasan langsung dengan kawasan TNLL, terletak di wilayah Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala. Mayoritas masyarakat desa Mataue berasal dari suku Kaili, yang merupakan suku asli Sulawesi Tengah. Desa ini memiliki potensi air yang sangat besar untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat baik untuk konsumsi rumah tangga, maupun irigasi. Sumber daya air yang ada di Mataue dimanfaatkan oleh masyarakat di empat desa, yaitu Desa Mataue, Desa Bolapapu, Desa Boladangko, dan Desa Sungku.

Masyarakat Desa Mataue memiliki kearifan lokal yang unik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air. Dalam hal pengelolaan sumber daya air masyarakat desa pengguna mempercayakannya kepada tokoh adat Desa Mataue yang merupakan desa terdekat dengan sumber mata air. Kegiatan pengelolaan yang dilakukan adalah kegiatan monitoring ke areal hulu yang hanya dilakukan oleh masyarakat Desa Mataue. Selain itu dalam pengelolaan lahan pertanian yang berada di sepanjang aliran air tidak diperkenankan mengunakan pupuk kimia dan pestisida.

Bentuk partisipasi masyarakat desa sekitar Mataue yang memanfaatkan sumber daya air adalah dengan membayar sejumlah uang kepada pemerintahan Desa Mataue sebagai petugas pengelola. Untuk pemungutan jasa retribusi air sendiri pemerintahan Desa Mataue menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintahan desa masing-masing. Berdasarkan kesepakatan masing-masing desa, masyarakat yang konsumsi air untuk kebutuhan rumah tangga dikenakan biaya sebesar Rp 2000,-/bulan, sedangkan untuk irigasi sawah dikenakan biaya sebesar 1-1,5 blek gabah ketika masa panen.

Kearifan lokal lain yang terlihat adalah dalam hal pemanfaatan kulit kayu pohon beringin sebagai bahan baju adat (kain fuya). Untuk mendapatkan kulit kayu masyarakat tidak diperbolehkan menebang pohon beringin. Perubahan Lingkungan dan Respon Masyarakat Adat, Contoh Kasus Masyarakat Adat Toro Perubahan lingkungan yang disebabkan oleh faktor eksternal dan internal menimbulkan respon dari masyarakat yang berimplikasi terhadap kestabilan sumber daya alam. Pada contoh kasus masyarakat Toro, faktor-faktor tersebut adalah intervensi ekonomi pasar dan dinamika politik menyangkut ketidakseimbangan hak penguasaan lahan.

f. Peningkatan Kesejahteraan Berpijak pada Kearifan Lokal

Cukup banyak bukti bahwa kearifan lokal akan meningkatkan kesejahteraan. Tradisi perahu sandeq suku Mandar di Sulawesi Barat. Mandar adalah salah satu suku bangsa di Nusantara yang budayanya berorientasi laut. Selain Mandar, suku lain yang berorientasi ke laut adalah Makassar, Bugis, Bajau, dan Buton. Tiga suku yang disebut pertama tinggal di Sulawesi Selatan. Banyak orang yang tinggal di luar Sulawesi bagian selatan menganggap pelaut ulung dari kawasan itu adalah orang Bugis.

Namun, menurut Christian Pelras, penulis buku The Bugis (1996), pelaut ulung di kawasan itu adalah orang Mandar. "Orang Bugis sebenarnya adalah pedagang. Laut dan kapal hanyalah media atau sarana yang digunakan untuk memperlancar aktivitas perdagangan mereka. Kalau mau menyebut pelaut ulung, maka yang paling tepat adalah orang Mandar," tulis Pelris.

Keulungan orang Mandar, tidak bertumpu pada armada perang yang hebat atau benteng tebal dan besar, tetapi pada tiga bentuk teknologi perikanan yang mereka kembangkan, yakni rumpon, menangkap ikan sambil menghanyut, dan perahu sandeq. Teknologi perikanan yang telah dikembangkan secara turun-temurun ini telah mampu menstimulasi peningkatan ekonomi masyarakat nelayan di Mandar. Pelajaran itu menunjukkan bahwa kreativitas lokal yang berpijak pada kearifan lokal telah membuat masyarakat sejahtera.

Tinggal political will dari pemerintah untuk menstimulus kegiatan itu. Tentu saja dengan menjaga kearifan lokal sebagai khasanah budaya bangsa. Bila pembangunan ekonomi masyarakat tanpa berpijak pada kearifan lokal, ekonomi nasional hanyalah ekonomi superfisial, tanpa makna kesejahteraan.

g. Kearifan Lokal Tradisional Masyarakat Nelayan pada Pemukiman Mengapung di Danau Tempe Sulawesi Selatan.

Masyarakat nelayan yang bermukim pada rumah mengapung di Danau Tempe memiliki
kearifan lokal berupa hukum adat yang bersumber pada keyakinan dan berkembang
melalui proses adaptasi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kearifan lokal
ini diyakini dapat menciptakan keselarasan, keserasian, keseimbangan dan kelestarian
antara manusia, lingkungan permukiman dan lingkungan alam di Danau Tempe. Adanya kekuatan hukum adat sangat dominan mempengaruhi perilaku dan kehidupan masyarakat nelayan dalam bermukim di floating house, beraktifitas sosial, budaya dan beraktifitas ekonomi diatas air. Pembagian area private, semi private dan area publik di lingkungan Danau Tempe adalah kearifan tradisi yang telah dilakukan oleh beberapa generasi. Jika
tradisi dan hukum adat ini dilanggar, maka akan merusak keseimbangan sistem
kehidupan di lingkungan danau, sehingga Macoa Tappareng sebagai ketua adat akan
memberikan sangsi kepada setiap orang yang melakukan pelanggaran tersebut.
h. Khazanah Kearifan lokal dalam Bentuk Petuah “Pepatah Bugis”.

Berbicara tentang Sulawesi Selatan tentunya tidak lepas dari pembicaraan terhadap entitas etnis masyarakat Bugis-Makassar. Ada banyak khazanah pepatah-pepatah lama yang secara turun temurun di lafadzkan dan di bacakan kepada kita dari generasi ke generasi. Berikut beberapa pepatah bugis :

”Resopa Temmanginngi Malomo Nalettei Pammase Dewata" Hanya dengan bekerja keras kita akan mendapat rahmat Allah SWT.

“Ininnawa mitu denre sisappa, sipudoko, sirampe teppaja” Hanya budi baik yang akan saling mencari, saling menjaga, dalam kenangan tanpa akhir.

“Taro ado taro gau” Selarasnya antara perkataan dan perbuatan.

“Pa’dioloi niya’ madécéng, ritemmadduppana iyamanenna gau’é” Dahului dengan niat yang baik sebelum terlaksananya segala perbuatan.

“Pada laleng teppada upe’ ” sama jalannya, tak sama peruntungannya.

“Nigi-nigi majenggo dena masempajang, iya na diaseng bembe` “ Siapa-siapa yang berjenggot namun tidak sembahyang, dialah kambing.

“Toddopuli temalara” Sekali layar terkembang, pantang surut ke tepian.

“Nakko de' siri'mu engka mussa pessemu” Jika tak punya malu, paling tidak punya rasa solidaritas sosial.

“Akka’i padammu rupa tau natanréréko” Angkatlah sesamamu manusia supaya engkau juga akan di junjung.

"Pada Idie Pada Elo, Sipatuo Sipatokkong" Kita Bersama Inginkan Kebaikan, Saling Meng'hidup'kan & Membantu.

i. Kearifan Lokal Suku Bangsa Wuna di Kabupaten Muna

Falia (Larangan). Falia telah lama dianut oleh masyarakat una diwariskan secara turun – temurun dari generasi ke generasi sebagai pedoman dalam melestarikan lingkungan hidup. Hal ini dapat dipahami sebagai suatu tradisi yang masih tampak pada orangWuna di manapun

dia berada sebagai implementasi dari falsafah hidup “Dopo pia – piara”. Dopo pia piara dapat diartikan dengan saling memelihara dan menjaga. Dalam falsafah tersebut manusia wajib hukumnya untuk saling memelihara satu sama lain, termasuk memelihara lingkungan hidup yang ada di sekelilingnya. Untuk hal itulah di dalamnya lahir istilah falia agar tidak mengambil, memanfaatkan dan mengelola lingkungan hidup yang bertentangan dengan falsafah hidup tersebut.

Selain itu juga maknanya sangat luas, termasuk saling menjaga perasaan sesama yang dalam istilah lokal dikatakan bahwa “memelihara sesama artinya memelihara diri sendiri, merusak sesama sama artinya merusak diri sendiri”. Orang Wuna percaya bahwa alam akan bersahabat jika manusia mau memeliharanya, dan sebaliknya Ada beberapa hal yang perlu diketahui yang berkaitan dengan Falia.

j. Ritual Penyembuhan Etnis Kaili di Sulawesi Tengah

Secara etimologi “Balia” berasal dari bahasa Kaili “Nabali ia” artinya “berubah ia”. Perubahan yang dimaksud dalam pengertian ini adalah ketika seseorang pelaku Balia telah dimasuki oleh roh halus, maka segala perilaku, gerak, perbuatan, cara berbicara sampai pada cara berpakaian orang tersebut akan berubah. Pengertian lain tentang kata “Balia” adalah “bali ia” atau “robah dia”. Kata “robah dia” lebih dikonotasikan pada penyakit yang diderita seseorang yang diupacarakan agar disembuhkan. Sederhananya dapat diartikan merubah seseorang yang “sakit” menjadi “sembuh”.

Balia merupakan salah satu sistem kepercayaan etnis Kaili. Meskipun sebagian besar etnis Kaili (To Kaili) memeluk agama Islam, namun sampai saat ini masih memiliki kepercayaan yang berkaitan dengan animisme. Selain kekuatan “Tuhan”, orang Kaili juga mempercayai adanya hal-hal gaib, kekuatan roh yang dapat mendatangkan petaka, musibah, penyakit, bila murka akan perilaku manusia.

Di kalangan etnis Kaili, kekuatan - kekuatan gaib itu dipercaya ada di mana-mana. Kekuatan gaib di langit disebut “karampua” dan pemilik kekuatan gaib di bumi / tanah disebut “anitu”. Selain itu segala isi alam seperti batu, pohon, laut, gua, gunung, bukit, dan lain - lain, juga diyakini berpenghuni.

Kelalaian, pelanggaran dari perilaku manusia membuat penghuni dan pemilik kekuatan gaib tersebut murka dan memberikan azab bagi manusia berupa bencana atau penyakit. Konsekwensi dari segala kejadian tersebut, manusia diwajibkan untuk bertobat. Wujud pertobatan itulah yang dilakukan oleh orang Kaili melalui upacara ritual “Balia” dengan memberikan sesajian sebagai persembahan seraya memohon kesembuhan dan keselamatan bagi umat manusia.

Pelaksanaan upacara ritual Balia umumnya dilaksanakan di tempat terbuka, seperti lapangan atau halaman rumah yang luas, terdapat sebuah bangunan besar tidak permanen yang dibangun secara gotong royong oleh keluarga yang akan melaksanakan upacara, dibantu oleh masyarakat sekitarnya. Bangunan ini disebut “Bantaya” atau balai pertemuan, tempat berkumpulnya para pelaku upacara selama prosesi upacara berlangsung. Waktu pelaksanaan upacara pada malam hari selama 3 - 4 hari berturut - turut. Ditentukan oleh tokoh adat setempat, disesuaikan dengan hari baik menurut kepercayaan orang Kaili. Dalam upacara Balia instrumen musik berupa gendang, gong, lalove (suling panjang khas Kaili) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pelaksanaannya. Instrumen music ini dimainkan untuk mengiringi para pelaku Balia yang menari - nari (bahasa Kaili: Notaro) karena telah kesurupan roh halus.

Upacara Balia digelar selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat. Ritual ini menjadi sebuah media pertemuan masyarakat dari segala tingkatan usia dan strata sosial. Selain itu, Balia juga menjadi konsumsi hiburan masyarakat bahkan menjadi pasar kecil-kecilan karena masyarakat lainnya juga memanfaatkan momen ritual ini dengan menggelar dagangan makanan kecil seperti : kacang, pisang, kue-kue, minuman, dan lain-lain.

Balia adalah salah satu sistem kepercayaan etnis Kaili yang masih terpelihara, membentuk sebuah nilai, norma, etika, tatanan sosial orang Kaili di Sulawesi Tengah yang hingga kini belum ada satu pihak pun menolak keberadaannya. Terlepas dari ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas etnis Kaili, Balia memiliki nilai seni yang tinggi sebagai salah satu local genius (kearifan lokal), wujud dari sebuah kebudayaan yang telah diakui oleh masyarakat Sulawesi Tengah sebagai culture icon (ikon budaya).

k. Arti Kerbau pada Masyarakat Sulawesi

Kerbau (Bos bubalus) adalah binatang paling penting bagi orang Toraja, salah satu etnis yang di Pulau Sulawesi, Indonesia. Bagi etnis Toraja, khususnya Toraja Sa’dan, kerbau adalah binatang yang paling penting dalam kehidupan sosial mereka. Kerbau atau dalam bahasa setempat tedong atau karembau tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, dan alat transaksi. Kerbau juga menjadi hewan utama dalam pesta dan upacarabudaya –rambu tuka’ dan rambu solo’. Sedemikian pentingnya, di Toraja kerbau mendapat selain perlakuan istimewa. Kerbau biasanya diistirahatkan dalam kandang di bawah kolong rumah. Karenanya rumah tradisional Toraja yang berbentuk rumah panggung yang dikitari tiang-tiang sehingga membentuk kurungan. Di luar rumah ada juga tempat khusus untuk tempat beristirahat kerbau. Biasanya ditempatkan di dekat padang pengembalaan, bala. Sebuah bala biasanya dikelilingi benteng yang ditanami bambu atau jenis tumbuhan lain yang berfungsi sebagai pagar.

Masyarakat Toraja menilai kerbau dari tanduk, warna kulit dan bulu, dan postur, serta tanda-tanda di badan. Di rumah-rumah tongkonan tanduk kerbau disusun di depan rumah, sebagai simbol status seseorang atau tongkonan.

Pictures